Mengapa Nazhir
harus Orang yang Cakap?
Hasil
riset CSRC UIN Jakarta menyimpulkan, masalah utama yang dihadapi oleh dunia
perwakafan di Indonesia terletak pada rendahnya mutu pengelolaan wakaf. Dan itu
berkorelasi dengan rendahnya mutu nazhir.
Ini merupakan tantangan besar karena selama ini kualitas nazhir nyaris tidak pernah dipikirkan. Akibatnya,
asset wakaf yang bernilai Rp 590 triliun itu belum mampu menjalankan fungsinya
untuk membantu meningkatkan kesejahteraan dan mendukung terciptanya keadilan
social. Hal ini terbukti hanya sedikit hasil wakaf yang dimanfaatkan untuk
santunan dan pelayanan masyarakat miskin, dan nyaris tidak ada untuk tujuan
pemberdayaan masyarakat dan advokasi kebijakan yang berpihak pada masyarakat
kecil dan marginal. Tujuan pembinaan nazhir
bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki
dedikasi di bidang filantropi, seperti Departemen Agama, Badan Wakaf Indonesia,
dan lain-lain.
Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf, nazhir berhak mendapatkan hasil bersih pengelolaan wakaf yang
besarnya tidak melampaui 10%. Namun sejauh ini pekerjaan nazhir pada umumnya
adalah pekerjaan sampingan (84%), meski ada juga yang bekerja penuh (16%).
Sebagian besar nazhir tidak menerima imbalan alias bekerja lillahita’ala. Data
riset CSRC UIN menyebutkan hanya 8% nazhir yang mendapatkan imbalan dari
pekerjaannya sebagai nazhir. Ada yang mendapat imbalan berupa gaji (45%), bagi
hasil harta wakaf (33%), dan bingkisan hari raya atau bantuan tidak tetap
(22%).
Bagaimana Kepastian Hukum Tanah Wakaf?
Hasil
penelitian CSRC UIN Jakarta menunjukkan, hampir 90% tanah wakaf di Indonesia
sudah bersertifikat. Ini menunjukkan bahwa pemerintah melalui Departemen Agama
dan kerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) selama ini relative telah
berhasil dalam mengusahakan kepastian hukum tanah wakaf di Indonesia.
Apa Itu Filantropi untuk Keadilan Sosial?
Dewasa
ini konsep Filantropi untuk Keadilan Sosial (FKS) mulai banyak dibicarakan.
Konsep ini bermula dari kritik terhadap konsep filantropi tradisional yang
dibangun atas landasan “belas kasihan” dan “mengharap pahala dari Allah SWT.”
Akibatnya, aktivitas filantropi semata-mata dilakukan sebagai pelaksanaan
kewajiban agama, dan tidak dikaitkan dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
FKS
memiliki komitmen untuk menjadikan masyarakat mandiri (karena itu metode FKS
adalah melibatkan masyarakat secara aktif dan partisipatif), menjamin bahwa
distribusi sumber daya merata di semua lapisan masyarakat sehingga kebutuhan
pokok masyarakat terpenuhi, membangun sistem sosial di mana semua warga berdiri
sejajar, sama dan sederajat.
Kondisi
demikian pada gilirannya akan mampu mendorong partisipasi aktif masyarakat
dalam pembuatan dan pengambilan keputusan politik yang menyangkut kepentingan
public. Dengan demikian, konsep FKS erat dengan perlindungan hak-hak
masyarakat, bukan hanya hak ekonominya, tapi juga hak politik, hak budaya, hak hukum,
hak pendidikan, bahkan juga hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan,
memperoleh sumber daya air, menghirup udara bersih dan sebagainya.
Singkatnya,
konsep FKS tidak hanya sekadar memberikan makanan, pakaian dan lain-lain,
tetapi melibatkan masyarakat di dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka,
menjadi mitra mereka sehingga mereka mandiri. Pada saat bersamaan, isu FKS
menyadarkan masyarakat tentang adanya ketidakadilan sosial, lalu membangun
gerakan untuk membongkar struktur yang menciptakan ketidakadilan sosial
tersebut.
Disadur dari buku;”Filantropi
Dalam Masyarakat Islam”
CSRC UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
The Asia Foundation
PT Elex Media Komputindo
2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar