Rabu, September 30, 2015

FILANTROPI DALAM MASYARAKAT ISLAM 011



Mengapa Nazhir harus Orang yang Cakap?
Hasil riset CSRC UIN Jakarta menyimpulkan, masalah utama yang dihadapi oleh dunia perwakafan di Indonesia terletak pada rendahnya mutu pengelolaan wakaf. Dan itu berkorelasi dengan rendahnya mutu nazhir. Ini merupakan tantangan besar karena selama ini kualitas nazhir nyaris tidak pernah dipikirkan. Akibatnya, asset wakaf yang bernilai Rp 590 triliun itu belum mampu menjalankan fungsinya untuk membantu meningkatkan kesejahteraan dan mendukung terciptanya keadilan social. Hal ini terbukti hanya sedikit hasil wakaf yang dimanfaatkan untuk santunan dan pelayanan masyarakat miskin, dan nyaris tidak ada untuk tujuan pemberdayaan masyarakat dan advokasi kebijakan yang berpihak pada masyarakat kecil dan marginal. Tujuan pembinaan nazhir bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki dedikasi di bidang filantropi, seperti Departemen Agama, Badan Wakaf Indonesia, dan lain-lain.


Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, nazhir berhak mendapatkan hasil bersih pengelolaan wakaf yang besarnya tidak melampaui 10%. Namun sejauh ini pekerjaan nazhir pada umumnya adalah pekerjaan sampingan (84%), meski ada juga yang bekerja penuh (16%). Sebagian besar nazhir tidak menerima imbalan alias bekerja lillahita’ala. Data riset CSRC UIN menyebutkan hanya 8% nazhir yang mendapatkan imbalan dari pekerjaannya sebagai nazhir. Ada yang mendapat imbalan berupa gaji (45%), bagi hasil harta wakaf (33%), dan bingkisan hari raya atau bantuan tidak tetap (22%).

Bagaimana Kepastian Hukum Tanah Wakaf?
Hasil penelitian CSRC UIN Jakarta menunjukkan, hampir 90% tanah wakaf di Indonesia sudah bersertifikat. Ini menunjukkan bahwa pemerintah melalui Departemen Agama dan kerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) selama ini relative telah berhasil dalam mengusahakan kepastian hukum tanah wakaf di Indonesia.

Apa Itu Filantropi untuk Keadilan Sosial?
Dewasa ini konsep Filantropi untuk Keadilan Sosial (FKS) mulai banyak dibicarakan. Konsep ini bermula dari kritik terhadap konsep filantropi tradisional yang dibangun atas landasan “belas kasihan” dan “mengharap pahala dari Allah SWT.” Akibatnya, aktivitas filantropi semata-mata dilakukan sebagai pelaksanaan kewajiban agama, dan tidak dikaitkan dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat.


FKS memiliki komitmen untuk menjadikan masyarakat mandiri (karena itu metode FKS adalah melibatkan masyarakat secara aktif dan partisipatif), menjamin bahwa distribusi sumber daya merata di semua lapisan masyarakat sehingga kebutuhan pokok masyarakat terpenuhi, membangun sistem sosial di mana semua warga berdiri sejajar, sama dan sederajat.

Kondisi demikian pada gilirannya akan mampu mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pembuatan dan pengambilan keputusan politik yang menyangkut kepentingan public. Dengan demikian, konsep FKS erat dengan perlindungan hak-hak masyarakat, bukan hanya hak ekonominya, tapi juga hak politik, hak budaya, hak hukum, hak pendidikan, bahkan juga hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, memperoleh sumber daya air, menghirup udara bersih dan sebagainya.

Singkatnya, konsep FKS tidak hanya sekadar memberikan makanan, pakaian dan lain-lain, tetapi melibatkan masyarakat di dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka, menjadi mitra mereka sehingga mereka mandiri. Pada saat bersamaan, isu FKS menyadarkan masyarakat tentang adanya ketidakadilan sosial, lalu membangun gerakan untuk membongkar struktur yang menciptakan ketidakadilan sosial tersebut.

Disadur dari buku;”Filantropi Dalam Masyarakat Islam”
CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
The Asia Foundation
PT Elex Media Komputindo
2008









Tidak ada komentar: