Sabtu, November 08, 2008

Orang Hebat Menciptakan Surga di Dunia

Pergumulan pemikiran orang mengenai surga-neraka sudah terjadi sejak dulu kala. Hampir semua orang dari yang paling sholeh hingga yang paling salah menjadikan dua alam beda isi itu sebagai parameter keberhasilan dan kesuksesan amal di dunia. Paling tidak pernyataannya begini: amal sholeh diganjar masuk surga dan amal salah diganjar masuk neraka. Sejak itu, surga hampir menjadi idealita setiap orang. Karena di sana segalanya indah. Dalam al-Quran ia digambarkan laksana tempat yang dialiri sungai-sungai nan jernih menawan dan manusia hidup di dalamnya untuk selamanya, tajri min tahtihal anhaar khaalidiina fiha abadan. Umat Hindu menyebutnya Nirwana. Orang Kristen menyebutnya sebagai tempat kembalinya "domba-domba" yang tersesat, dan seterusnya. Kitab-kitab klasik mengkiaskan keindahan surga sebagai tak berhingga kali keindahan yang terindah. Semua orang, tak peduli ia baik atau bejat, sholeh atau salah, ingin masuk surga. Semua orang berharap meraih surga. Tapi sayang surga salalu membatasi diri untuk orang-orang yang tidak biasa, tapi luar biasa!

Dalam sebuah hadits, Rasul Muhammad SAW pernah berujar, ad-dunya mazro'atun lil akhiroh, dunia adalah tempat bercocok tanam bagi akhirat. Tafsirnya kira-kira begini: kalau yang kita tanam di dunia tanaman yang baik dan berkualitas unggul, maka di akhirat kita pun akan menuai hasil yang baik dan memuaskan hati, demikian juga sebaliknya. Menanam sendiri dalam cakupannya yang komprehensif meliputi rencana, cara (proses), pelaksanaan - dari niat sampai tindakan, from mission to action. Sementara menuai kebaikan di akhirat dapat dipadankan sebagai beroleh surga yang kekal abadi, tentuntunya atas ridho Alloh Sang Pencipta. Jadi kehidupan dunia tidak terlepas apalagi terpisah dari kehidupan akhirat. Demikian juga, surga tidak lagi hanya ada di akhirat, melainkan juga (dapat dihadirkan) di dunia fana ini. Ini berarti setiap orang (seharusnya) dapat mengalami dua kali masuk surga. Pertama, (memilih) masuk surga dunia dan kedua, masuk surga akhirat.
Orang hebat memilih untuk menghadirkan surga di dunia. Atas pilihan ini, orang hebat akan beroleh tiket masuk ke surga yang kedua. Bagaimana caranya? Caranya sederhana: asal posisi hati kita benar, posisi niat kita benar, posisi azzam kita benar, dan posisi aksi kita benar. Teman, dunia adalah ruang interaksi yang didasarkan pada kebutuhan. Ada paling kurang tiga model motif sosial - yang menghubungkan interaksi dan pemenuhan kebutuhan, yakni: Need of Affiliation (kebutuhan akan kebersamaan dan persahabatan), Need of Power (kebutuhan akan kekuasaan), dan Need of Achievement (kebutuhan akan prestasi).

Need of Affiliation akan menghadirkan kecenderungan sebagai berikut: minat akan terjalinnya persahabatan, khawatir akan putusnya persahabatan, suka bekerja sama / gotong royong, toleransi, meminta persetujuan, bangga diterima masuk kelompok, bekerja dengan orang lain (team work), risih hidup menyendiri, setia pada kelompok.
Need of Power akan menghadirkan kecenderungan sebagai berikut: menunjukkan minat pada kekuasaan, mempengaruhi orang, mengendalikan orang lain, peka kepada struktur kelompok, membantu orang lain meski tidak diminta, berbuat sesuatu yang menimbulkan perasaan kuat, suka mengatur, disiplin tinggi, ingin dihormati, diakui, dan dihargai, perasaannya mudah tersentuh, berpendirian teguh, peka terhadap interpersonal.
Sementara Need of Achievement menghadirkan kecenderungan: suka berkompetisi, ingin dapat lebih banyak, puas pada keunggulan, menyibukkan diri dalam kegiatan pribadi, peka terhadap masalah, melibatkan diri dalam pembicaraan penting, berfikir ke depan, berani mengambil resiko, rasa tanggung jawab besar, tekad kuat terhadap keinginan pribadi, terbuka dan sportif, mengatasi masalah dengan unik.

Itulah motif sosial dalam ruang interaksi kita sehari-hari. Sebagian besar - kalau tidak semuanya - merupakan respon alami kita atas berbagai macam kebutuhan. Tinggal bagaimana kita memosisikan diri untuk memilih respon yang tepat atas berbagai pilihan tindakan. Dan di sana surga - neraka terpampang nyata sebagai sebuah pilihan. Di rumah, di jalan, di pasar, di kampus, di kantor, di tempat hiburan, bahkan di tempat-tempat ibadah selalu menyediakan pojok-pojok atau ruang-ruang bagi surga dan neraka, sama banyaknya, sama peluangnya. Demikian juga dalam hubungan kerja sama, dalam hubungan profesional, dalam pertemanan, dalam permainan, dalam perlombaan, dalam persaingan, bahkan dalam ritual keagamaan di sana selalu ada ruang peluang bagi surga dan neraka dalam porsi yang sama.

Kita mungkin pernah melihat atau mengalami sendiri perasaan tertekan, dimaki, dicaci, dituduh, dihina, disuruh-suruh, dikhianati, dan bentuk-bentuk tekanan lain - fisik maupun emosi - yang membuat hidup jenuh, jengah, stres, dan membosankan. Atau kita mungkin pernah pada posisi yang menekan orang lain, menuduh orang lain, menghina orang lain, mengkhianati orang lain dan seterusnya. Tidakkah kita sadar, kita telah menciptakan neraka dunia dalam diri kita dan diri-diri di luar sana. Kenapa kita tidak memilih cara sebaliknya - cara-cara surgawi yang membuat kita dan orang lain nyaman, aman, tenteram, merasa dihargai, dan terberdaya?
Mengapa seorang bos harus berteriak keras kepada bawahannya kalau permintaan lembut dibarengi teladan lebih efektif dalam memimpin perusahaan? Mengapa harus menghujat, memfitnah, iri, dengki, hasad, hasud kalau yang kita terima serupa dengan yang kita lakukan itu? Lalu mengapa harus pula membenci dan dendam - bahkan kepada orang-orang yang membenci dan dendam kepada kita - kalau kita tahu itu tidak mengobati hati yang luka? Mengapa juga harus berbohong kalau kejujuran lebih mendamainkan hati? Teman, surga lebih sering dapat kita hadirkan asal kita dapat menahan emosi dan egoisme diri.

Gede Prama mengajarkan kita untuk berkaca pada kehidupan setiap bayi mungil. Jiwanya begitu bersih tanpa prasangka (non judgemental). Selalu ingin gembira dan tanpa ia sadari menggembirakan orang-orang disekitarnya. Bersama seorang bayi kita tidak berharap banyak. Sehat, senyum, dan memanggil papa saja sudah cukup. Akan tetapi, dari kehidupan kita memiliki harapan yang tidak terbatas. Harapan terakhir ini seperti langit. Jauh, tanpa batas, dan tak berujung. Sehingga, bila dicari kemana pun dan sampai kapan pun, ia tetap tidak ketemu.
Bersama bayi kita mudah sekali menjadi manusia pemaaf. Namun, begitu berhadapan dengan kehidupan, betapa susahnya memaklumi kesalahan yang kita lakukan maupun dilakukan oleh orang lain. Betapa susahnya memaafkan orang yang membenci dan mengkhianati kita. Selanjutnya, bersama bayi, respon alami kita sebagai manusia mudah sekali muncul. Bila ia tersenyum, tersenyumlah kita. Bila ia menangis, kita akan mencari cara agar ia kembali tersenyum. Hanya saja, dengan kehidupan, tidak sedikit manusia yang kehilangan respon alaminya. Sudah memiliki rumah mewah, naik mercedes, main golf tetapi tetap saja memaksa lebih dan lebih, bahkan dengan cara-cara yang tidak benar. Terakhir, bersama bayi, manusia manapun sangat mudah menerapkan kebiasaan menyayangi. Tetapi, dengan kehidupan betapa sedikit orang yang menyayangi kehidupannya, menyayangi orang-orang di sekitarnya. Dengan memfitnah, iri, dengki, menuduh, dsj mereka tentu saja tidak menyayangi kehidupan ini.

Itulah surga dunia. Yang dapat kita hadirkan dengan cara memosisikan dengan benar hati kita, niat kita, cara pandang kita, azzam kita, dan tindakan kita. Yakni pada posisi kebermaknaan hidup. Dan, orang hebat memilih untuk hidup bermakna - merasakan surga pertama sebelum mengenyam surga sejati di akhirat nanti.

Minggu, November 02, 2008

Orang Hebat Menciptakan Surga di Dunia


Pergumulan pemikiran orang mengenai surga-neraka sudah terjadi sejak dulu kala. Hampir semua orang dari yang paling sholeh hingga yang paling salah menjadikan dua alam beda isi itu sebagai parameter keberhasilan dan kesuksesan amal di dunia. Paling tidak pernyataannya begini: amal sholeh diganjar masuk surga dan amal salah diganjar masuk neraka. Sejak itu, surga hampir menjadi idealita setiap orang. Karena di sana segalanya indah. Dalam al-Quran ia digambarkan laksana tempat yang dialiri sungai-sungai nan jernih menawan dan manusia hidup di dalamnya untuk selamanya, tajri min tahtihal anhaar khaalidiina fiha abadan. Umat Hindu menyebutnya Nirwana. Orang Kristen menyebutnya sebagai tempat kembalinya "domba-domba" yang tersesat, dan seterusnya. Kitab-kitab klasik mengkiaskan keindahan surga sebagai tak berhingga kali keindahan yang terindah. Semua orang, tak peduli ia baik atau bejat, sholeh atau salah, ingin masuk surga. Semua orang berharap meraih surga. Tapi sayang surga salalu membatasi diri untuk orang-orang yang tidak biasa, tapi luar biasa!

Dalam sebuah hadits, Rasul Muhammad SAW pernah berujar, ad-dunya mazro'atun lil akhiroh, dunia adalah tempat bercocok tanam bagi akhirat. Tafsirnya kira-kira begini: kalau yang kita tanam di dunia tanaman yang baik dan berkualitas unggul, maka di akhirat kita pun akan menuai hasil yang baik dan memuaskan hati, demikian juga sebaliknya. Menanam sendiri dalam cakupannya yang komprehensif meliputi rencana, cara (proses), pelaksanaan - dari niat sampai tindakan, from mission to action. Sementara menuai kebaikan di akhirat dapat dipadankan sebagai beroleh surga yang kekal abadi, tentuntunya atas ridho Alloh Sang Pencipta. Jadi kehidupan dunia tidak terlepas apalagi terpisah dari kehidupan akhirat. Demikian juga, surga tidak lagi hanya ada di akhirat, melainkan juga (dapat dihadirkan) di dunia fana ini. Ini berarti setiap orang (seharusnya) dapat mengalami dua kali masuk surga. Pertama, (memilih) masuk surga dunia dan kedua, masuk surga akhirat.

Orang hebat memilih untuk menghadirkan surga di dunia. Atas pilihan ini, orang hebat akan beroleh tiket masuk ke surga yang kedua. Bagaimana caranya? Caranya sederhana: asal posisi hati kita benar, posisi niat kita benar, posisi azzam kita benar, dan posisi aksi kita benar. Teman, dunia adalah ruang interaksi yang didasarkan pada kebutuhan. Ada paling kurang tiga model motif sosial - yang menghubungkan interaksi dan pemenuhan kebutuhan, yakni: Need of Affiliation (kebutuhan akan kebersamaan dan persahabatan), Need of Power (kebutuhan akan kekuasaan), dan Need of Achievement (kebutuhan akan prestasi).

Need of Affiliation akan menghadirkan kecenderungan sebagai berikut: minat akan terjalinnya persahabatan, khawatir akan putusnya persahabatan, suka bekerja sama / gotong royong, toleransi, meminta persetujuan, bangga diterima masuk kelompok, bekerja dengan orang lain (team work), risih hidup menyendiri, setia pada kelompok.

Need of Power akan menghadirkan kecenderungan sebagai berikut: menunjukkan minat pada kekuasaan, mempengaruhi orang, mengendalikan orang lain, peka kepada struktur kelompok, membantu orang lain meski tidak diminta, berbuat sesuatu yang menimbulkan perasaan kuat, suka mengatur, disiplin tinggi, ingin dihormati, diakui, dan dihargai, perasaannya mudah tersentuh, berpendirian teguh, peka terhadap interpersonal.

Sementara Need of Achievement menghadirkan kecenderungan: suka berkompetisi, ingin dapat lebih banyak, puas pada keunggulan, menyibukkan diri dalam kegiatan pribadi, peka terhadap masalah, melibatkan diri dalam pembicaraan penting, berfikir ke depan, berani mengambil resiko, rasa tanggung jawab besar, tekad kuat terhadap keinginan pribadi, terbuka dan sportif, mengatasi masalah dengan unik.

Itulah motif sosial dalam ruang interaksi kita sehari-hari. Sebagian besar - kalau tidak semuanya - merupakan respon alami kita atas berbagai macam kebutuhan. Tinggal bagaimana kita memosisikan diri untuk memilih respon yang tepat atas berbagai pilihan tindakan. Dan di sana surga - neraka terpampang nyata sebagai sebuah pilihan. Di rumah, di jalan, di pasar, di kampus, di kantor, di tempat hiburan, bahkan di tempat-tempat ibadah selalu menyediakan pojok-pojok atau ruang-ruang bagi surga dan neraka, sama banyaknya, sama peluangnya. Demikian juga dalam hubungan kerja sama, dalam hubungan profesional, dalam pertemanan, dalam permainan, dalam perlombaan, dalam persaingan, bahkan dalam ritual keagamaan di sana selalu ada ruang peluang bagi surga dan neraka dalam porsi yang sama.

Kita mungkin pernah melihat atau mengalami sendiri perasaan tertekan, dimaki, dicaci, dituduh, dihina, disuruh-suruh, dikhianati, dan bentuk-bentuk tekanan lain - fisik maupun emosi - yang membuat hidup jenuh, jengah, stres, dan membosankan. Atau kita mungkin pernah pada posisi yang menekan orang lain, menuduh orang lain, menghina orang lain, mengkhianati orang lain dan seterusnya. Tidakkah kita sadar, kita telah menciptakan neraka dunia dalam diri kita dan diri-diri di luar sana. Kenapa kita tidak memilih cara sebaliknya - cara-cara surgawi yang membuat kita dan orang lain nyaman, aman, tenteram, merasa dihargai, dan terberdaya?

Mengapa seorang bos harus berteriak keras kepada bawahannya kalau permintaan lembut dibarengi teladan lebih efektif dalam memimpin perusahaan? Mengapa harus menghujat, memfitnah, iri, dengki, hasad, hasud kalau yang kita terima serupa dengan yang kita lakukan itu? Lalu mengapa harus pula membenci dan dendam - bahkan kepada orang-orang yang membenci dan dendam kepada kita - kalau kita tahu itu tidak mengobati hati yang luka? Mengapa juga harus berbohong kalau kejujuran lebih mendamainkan hati? Teman, surga lebih sering dapat kita hadirkan asal kita dapat menahan emosi dan egoisme diri.

Gede Prama mengajarkan kita untuk berkaca pada kehidupan setiap bayi mungil. Jiwanya begitu bersih tanpa prasangka (non judgemental). Selalu ingin gembira dan tanpa ia sadari menggembirakan orang-orang disekitarnya. Bersama seorang bayi kita tidak berharap banyak. Sehat, senyum, dan memanggil papa saja sudah cukup. Akan tetapi, dari kehidupan kita memiliki harapan yang tidak terbatas. Harapan terakhir ini seperti langit. Jauh, tanpa batas, dan tak berujung. Sehingga, bila dicari kemana pun dan sampai kapan pun, ia tetap tidak ketemu.

Bersama bayi kita mudah sekali menjadi manusia pemaaf. Namun, begitu berhadapan dengan kehidupan, betapa susahnya memaklumi kesalahan yang kita lakukan maupun dilakukan oleh orang lain. Betapa susahnya memaafkan orang yang membenci dan mengkhianati kita. Selanjutnya, bersama bayi, respon alami kita sebagai manusia mudah sekali muncul. Bila ia tersenyum, tersenyumlah kita. Bila ia menangis, kita akan mencari cara agar ia kembali tersenyum. Hanya saja, dengan kehidupan, tidak sedikit manusia yang kehilangan respon alaminya. Sudah memiliki rumah mewah, naik mercedes, main golf tetapi tetap saja memaksa lebih dan lebih, bahkan dengan cara-cara yang tidak benar. Terakhir, bersama bayi, manusia manapun sangat mudah menerapkan kebiasaan menyayangi. Tetapi, dengan kehidupan betapa sedikit orang yang menyayangi kehidupannya, menyayangi orang-orang di sekitarnya. Dengan memfitnah, iri, dengki, menuduh, dsj mereka tentu saja tidak menyayangi kehidupan ini.

Itulah surga dunia. Yang dapat kita hadirkan dengan cara memosisikan dengan benar hati kita, niat kita, cara pandang kita, azzam kita, dan tindakan kita. Yakni pada posisi kebermaknaan hidup. Dan, orang hebat memilih untuk hidup bermakna - merasakan surga pertama sebelum mengenyam surga sejati di akhirat nanti.

Orang Hebat Memiliki Ketajaman Spiritual


Spiritual oleh orang kebanyakan sering dikaitkan dengan agama. Aksentuasi yang paling tepat dari istilah ini sesungguhnya terkait dengan aspek pemaknaan atas segala sesuatu. Sehingga apapun agamanya, pemaknaan selalu dapat muncul atau dimunculkan sebagai sebuah spirit kehidupan. Meskipun kalau kita kaji lebih dalam, pemaknaan tertinggi akan selalu menempatkan Sang Causa Prima, pada puncaknya. Dan untuk itu beribadah (dalam arti ritual) menjadi bagian dari kebutuhan spiritual.

Spiritual. Inilah puncak tertinggi capaian pemenuhan kebutuhan manusia. Stephen R. Covey menengarai empat kebutuhan berdasarkan tingkatannya: to life (hidup), to love (mencinta/bersosial), to learn (belajar), dan puncak tertinggi to leave a legacy (bermakna/spiritual). Jauh sebelum Covey, Abraham Maslow membuat hirarki kebutuhan manusia. Dimulai dari dasar: kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan untuk mencinta, kebutuhan akan penghargaan, dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Di buku diktat, itulah lima tingkatan kebutuhan Maslow. Namun menjelang ajalnya menjemput, tidak banyak orang yang tahu kalau dia menambahkan satu tingkat tertinggi, yakni kebutuhan transendensi (kebutuhan spiritual).

Baik Maslow maupun Covey sadar betul menempatkan Spiritual sebagai puncak kebutuhan. Karna spiritual terkait dengan aspek-aspek pemaknaan, hidup bertujuan, berintegritas dan memiliki sumbangan/warisan (hidup bermanfaat). Ia tidak lagi hanya berkutat pada diri, tapi sekaligus pada diri-diri di luar sana, pada kemanusiaan universal, dan pada peradaban. Sangat jelas dalam Hirarki Maslow, lima kebutuhan sebelumnya berorientasi pada diri, sementara Transendensi melepaskan semua atribut diri untuk masuk pada atribut-atribut pengabdian, pengorbanan, dan sumbangan.

Dalam bahasan tentang Spiritual Intelligence (Spiritual Quotient, SQ), bahkan oleh pencetusnya pertama kali, Danah Zohar dan Ian Marshall, (Kecerdasan) Spiritual disebut sebagai The Ultimate Intelligence. Apa dasarnya? "SQ is the necessary foundation for the effective functioning of both IQ and EQ," ungkap Danah Zohar dan Ian Marshall dalam bukunya itu. Berbeda dengan IQ (kemampuan untuk belajar dan mencipta) dan EQ (kemampuan bersosial) yang lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan fisik dan emosional, SQ memenuhi kebutuhan jiwa (soul). Jika IQ bersandarkan pada nalar, rasio, intelektual, sementara EQ pada emosi, maka hakikat sejati SQ disandarkan pada the soul's intelligence. Ia membangkitkan pusat dari kesadaran setiap insan. Pusat penentu pilihan baik atau buruk - benar atau salah, HATI.

Karena itu, mengutip Sukidi dalam New Age, Wisata Spiritual Lintas Agama (2001), pekik SQ adalah suara hati (conscience). Suara yang paling jernih dalam hiruk pikuk kehidupan kita, yang tidak bisa ditipu oleh siapapun, termasuk diri kita sendiri. Kebenaran sejati terletak pada conscience ini. Karena itu SQ menyingkap kebenaran sejati yang lebih sering tersembunyi (hidden truth) di tengah adegan-adegan hidup yang serba palsu dan menipu. Kodrat SQ adalah fitrah yang selalu dalam kondisi - istilah penganut filsafat eksistensialisme - "the peace of the all sufficient." Inilah kiranya yang disebut sebagai nafsu al muthmainnah. Jiwa yang damai dan tenang, yang bisa menjalin kontak spiritual dengan Ilahi Rabbi. Hingga Alloh bersenandung indah kepadanya: "ya ayyatuhan nafsul mutmainnah. irji'i ila rabbiki raadhiyatan mardiyyah. fadkhuli fi 'ibadii wadkhulii jannatii (al-Fajr: 27-30).

Selanjutnya ekspresi SQ itu dipantulkan dalam etika sosial. Bersumber pada kesadaran hati. Mengikat makna kejadian-kejadian setiap hari. Lalu tergerak untuk berkontribusi. Membuat dan meninggalkan warisan kepada makhluk di bumi. Inilah puncak kesadaran diri. Kesadaran untuk menebar makna sepanjang masa melampaui batas usia yang ditentukan-Nya. Dan orang hebat punya kesadaran itu. Kesadaran untuk mempertajam mata spiritualnya (eye of the heart).

Orang Hebat Memenuhi Komitmennya


Sering saya bertanya pada diri saya sendiri, apa jadinya saya kelak - beberapa puluh tahun mendatang? Pertanyaan yang sama sering saya ajukan kepada teman-teman saya, apa 'the end'-nya seorang Dinda, Anwar, Indah, misalnya, dst. The end yang saya maksud adalah kondisi relatif seseorang dalam jangka waktu tertentu di masa datang, bisa status, pekerjaan, kepemilikan, kepribadiaan, dan kualitas-kulaitas insani lainnya. Mungkin seorang SBY tidak pernah menyangka kalau dirinya pada akhirnya dinobatkan menjadi presiden RI ke-6. Bahkan wakilnya, Jusuf Kalla konon hanya bercita-cita menjadi Lurah di kampungnya. Nah, presiden untuk SBY dan wapres untuk JK inilah yang menjadi pertanyaan/pernyataan 'the end' keduanya pada masa lalu. Sekarang (present) mereka sudah menjadi presiden dan wakil presiden RI ke-6. Dulu - sama dengan kita sekarang - mereka mungkin juga bertanya-tanya: apa jadinya saya kelak?

Apa yang kita bicarakan di atas, itulah ruang mimpi, cita-cita, harapan, atau keinginan setiap orang. Semua orang punya itu. Akan tetapi respon tiap-tiap orang berbeda untuk setiap ruang yang mereka punya. Ada yang membiarkan saja ruang itu tanpa rencana - tanpa cita-cita. Motto mereka kira-kira begini: biarkan hidup mengalir. Ada yang berencana - bercita-cita, tapi alakadarnya saja. Tidak muluk-muluk, kata mereka. Ada yang sengaja, sadar, dan sungguh-sungguh mememenuhi ruang itu dengan berjuta mimpi yang luar biasa. Yang pasti, apapun respon anda, itulah pilihan anda. Sepenuhnya anda mengontrol ruang-ruang itu.

Pilihan orang hebat adalah pilihan yang terakhir. Mereka memilih untuk memenuhi ruang itu dengan mimpi yang tidak biasa - luar biasa! Mereka sepenuhnya sadar kata-kata berikut: You are what you think. Wether you think you can, you can. If you can dream it, you can do it. Mereka sadar bahwa mereka adalah produk dari pikiran-pikiran mereka sendiri. Hingga Norman Vincent Paele khusus membuatkan buku untuk mereka berjudul The Power of Positive Thinking.

Setalah mimpi, cita-cita, dan rencana, orang hebat memenuhi hidupnya dengan komitmen pelaksanaan. Mereka kembali sadar bahwa hidup tak sekedar mimpi. Hidup adalah rangkaian aksi yang berulang-ulang hingga sampai pada perwujudan mimpi itu. Setelah mimpi, lalu take action. Dengan cara ini orang-orang hebat menggenggam dan memenuhi nasibnya.

Orang hebat punya komitmen. Komitmen adalah ketetapan hati untuk memenuhi janji. Ketetapan hati untuk meluangkan waktu, pikiran, tenaga, harta, bahkan nyawa untuk menepati janjinya: menepati mimpi, cita-cita, harapan, dan keinginannya. Mereka sadar untuk menerjemahkan apa yang dikatakan Hasan Al-Banna, Hari ini adalah mimpi kita kemarin. Hari esok adalah mimpi kita hari ini, menjadi, Hari ini adalah komitmen kita kemarin. Hari esok adalah komitmen kita hari ini. Mereka sadar ada jembatan antara mimpi dan kenyataan, antara rencana dan tindakan, yaitu komitmen.

Anthony Robin memenuhi komitmennya mencetak jutaan dolar, menggelar training masal yang sensasional, padahal dia berangkat dari tukang pel sebuah restoran. Di usia yang ke-50 kelak, dia berniat mencalonkan diri menjadi presiden Amerika Serikat. Purdi Candra memenuhi komitmennya menjadi kaya harta dan usaha meski memilih drop out dari bangku kuliahnya di UGM. Ia sekarang bos sekaligus pemegang francise Lembaga Bimbingan Belajar Primagama, beberapa restoran, jasa travel agent, bisnis property, hotel, dsb.

Andreas Harefa memenuhi komitmennya, Sukses Tanpa Gelar. Ia menjadi pengkritik paling tajam sistem sekolahan formal yang tidak memberdayakan siswa didik. Ia tak pernah memanfaatkan ijazah formalnya. Ia berkomitmen tak akan pernah melamar kerja. Dan itu ia buktikan. Sekarang ia bangga punya gelar baru WTS (singkatan dari Writer, Trainer, Speaker). Ia memenuhi undangan training berbagai perusahaan nasional dan multinasional. Produktivitasnya luar biasa. Bukunya puluhan jumlahnya, dan rata-rata best seller nasional.

Ada lagi, Aa Gym da'i sekaligus pengusaha muda yang luar biasa. Ia pernah menjadi tukang bakso semasa kuliah. Sekarang, jangan tanya kesuksesannya, ia menjadi trend setter pribadi yang mampu menggabungkan kehidupan dunia dan akhirat menjadi selaras. Ia punya pesantren virtual Daarut Tauhid yang sekaligus menjadi kerajaan bisnis beromset milyaran rupiah dengan berbagai lini usaha dari penginapan, supermarket, cafe, laundry, rekaman, penerbitan, jaringan pemasaran, sampai program televisi.

Mereka yang tersebut di atas adalah sedikit contoh dari orang-orang hebat yang sukses karena memenuhi komitmennya. Menjadi seperti mereka tidaklah susah. Caranya sederhana, yakni miliki keteguhan dan ketangguhan (adversity) dalam berusaha, dengan cara melihat kegagalan sebagai tangga-tangga kesuksesan, tidak mudah putus asa, serta profesional dan konsisten pada bidang usaha, aktivitas, dan pekerjaan yang diminati. Selamat mencoba!

Orang Hebat Membuka Dirinya Kepada Orang Lain

Bagian ini merupakan kelanjutan dari bab terdahulu dengan judul Orang Hebat Sadar Diri. Sadar diri merupakan the end process dari upaya mengenal diri sendiri. Upaya ini merupakan perbuatan khas manusia. Hanya manusialah yang mempunyai keinginan dan mampu mengenal dirinya sendiri, serta memanfaatkan pengetahuanya itu untuk tujuan pengembangan pribadi. Dalam perspektif psikologis, pengenalan diri berarti pandangan realistis dan objektif seseorang tentang dirinya sendiri. Secara operasional pengenalan diri itu berbentuk usaha-usaha memperluas dan memperdalam kesadaran mengenai berbagai aspek, kesecenderungan, kekhususan diri sendiri dan lingkungannya, seperti kemampuan, sifat, sikap, minat, bakat, motif, pemikiran. perasaan, corak penyesuaian diri, dan makna hidup, baik yang telah teraktualisasi maupun yang masih merupakan potensi (Hanna Djumhana Bastaman, 1996)

Setiap orang, setiap saat, punya kesempatan untuk selalu mengenal dirinya, memperbaiki dirinya, dan menjadikan dirinya selalu baru - "A New Me." Pertama, melalui serangkaian aktivitas teratur secara individual berupa solo training atau sering dibahasakan sebagai self assessment. Aktivitasnya berupa perenungan secara mendalam tentang diri kita melalui aktivitas meditasi, bertafakur, i'tikaf, bertapa, retreat bagi kaum nasrani, dan sejenisnya. Orang hebat sering melakukan ini. Aktivitas yang tepat dibahasakan sebagai muhasabah an-nafsi. Caranya mudah: Luangkan waktu sejenak - dalam hening dan tenang. Hentikan aktivitas fisik. Pusatkan konsentrasi. Lalu mulailah latihan menganalisis diri sendiri, meninjau keadaan lingkungan, merenungkan kehidupan dan pengalaman-pengalaman pribadi, serta membuat rencana-rencana. Rangkaian aktivitas itu ditutup dengan komitmen pelaksanaan rencana.

Hari ini adalah komitmen hari kemarin. Hari esok adalah komitmen hari ini.

Orang hebat selalu memenuhi komitmennya.

- Danang A. Akbarona -

Yang kedua, selain merenung dalam ruang-ruang kesendirian dan keheningan, setiap orang berkesempatan hadir dalam ruang interaksi dengan orang lain. Bentukya bisa bermacam-macam: aktivitas organisasi, kerjasama, kerja profesional, pertemanan, dan lain-lain. Ruang ini bisa juga dimanfaatkan sebagai sarana mengenali diri - mengenal diri dengan cara membuka diri kepada orang lain. Dalam "Konsep Diri" dikenal tiga konsep aku, yakni: aku diri, aku sosial, dan aku ideal. Proses pengenalan diri dalam ruang-ruang kesendirian menghasilkan aku diri. Sementara proses pengenalan diri dalam ruang interaksi kita menghasilkan aku sosial. Keduanya saling pintal-memintal dengan aku ideal membentuk kosep diri seseorang.

Orang hebat, dalam rangka mengenal dirinya lebih dalam, membuka dirinya kepada orang lain. Orang hebat selalu berharap evaluasi orang lain, mengetahui penilaian orang lain, dan mendengar masukan dan apresiasi orang lain - dalam ruang interaksi sosialnya. Inilah bentuk perluasan kesadaran diri yang terjadi karena interaksi sosial seseorang. Atas dasar pemahaman terakhir, Luft dan Ingham, pakar psikologi kenamaan, mengemukakan prinsip Johari Window-nya. Prinsip Johari Window digambarkan sebagai sebuah bujur sangkar dengan empat kuadran yang menunjukkan daerah kepribadian seseorang.

Kuadran I disebut "Daerah Terbuka" (open area). Daerah ini mencakup hal-hal yang saya ketahui tentang diri saya dan juga diketahui oleh orang lain. Misalnya, saya mengetahui dan sadar bahwa saya pandai berorasi, dan orang-orang sekitar saya pun tahu bahwa saya pandai berorasi.

Kuadran II disebut "Daerah Buta" (blind area). Daerah ini mencakup hal-hal tentang diri saya yang tidak saya ketahui, tetapi orang disekitar saya mengetahuinya. Misalnya, saya tidak tahu dan tidak sadar bahwa kalau saya menanggapi pembicaraan orang lain sering menyakitkan hati, tetapi hal itu diketahui orang lain.

Kuadran III disebut "Daerah tertutup" (hidden area). Daerah ini mencakup hal-hal yang saya ketahui tentang diri saya, tetapi orang lain tidak mengetahuinya. Misalnya, saya mengetahui dan menyadari bahwa saya mempunyai suara merdu, tetapi orang lain di sekitar saya tidak mengetahui bahwa saya pandai menyanyi. Hal ini terjadi karena saya belum memberitahu mereka dan bernyayi di depan mereka.

Kuadran IV disebut "Daerah Gelap" (dark area). Daerah ini menacakup segala sesuatu tentang diri saya yang tidak saya ketahui dan juga tidak diketahui orang lain. Daerah ini sangat luas, mencakup potensi-potensi yang tak disadari (unconscious), tetapi pada suatu saat - biasanya dalam keadaan darurat - akan terungkap. Misalnya, dalam keadaan rumahnya terbakar kadang-kadang seorang pemilik rumah dapat mengangkat barang-barang yang dalam keadaan normal mungkin tak terangkat kerena beratnya.

Orang hebat melatih dirinya untuk memperluas Kuadran I dengan jalan memperkecil Kuadran II dan Kuadran III. Untuk memperluas Kuadran I diperlukan kesediaan untuk membuka diri (self disclosure) dan memberikan umpan balik (giving feedback) kepada orang lain. Orang hebat bersedia dan berani mengungkapkan secara sukarela segala sesuatu mengenai dirinya yang mungkin tidak diketahui orang lain. Usaha ini akan memperkecil Kuadran II. Demikian juga, orang hebat bersedia secara sukarela dan senang hati menerima umpan balik dari orang lain berupa tanggapan, kesan, pendapat, saran-saran yang bermanfaat dalam memperluas pengenalan dan kesadaran dirinya. Upaya ini akan memperluas Kuadran I dan, pada saat yang bersamaan, memperkecil Kuadran III. Sehubungan dengan itu diasumsikan bahwa Kuadran IV secara tak langsung turut menyempit dengan meluasnya Kuadran I.

Keterbukaan adalah kunci kesuksesan mengenali diri dan diri-diri orang lain. Orang hebat selalu menciptakan lingkungan sosial yang penuh dengan keterbukaan, kejujuran, dan saling percaya. Diawali dengan membuka diri kepada orang lain, menaruh kepercayaan pada orang lain, maka orang lain akan berlaku sama. Dengan demikian diharapkan akan muncul pandangan yang lebih objektif dan realistis atas diri sendiri untuk perubahan dan perbaikan.

Orang Hebat Memberi Teladan


Pernah menyaksikan film Pay It Forward? Film ini mengandung pesan moral melakukan kebaikan yang terencana setiap hari, sekecil apapun yang kita lakukan, secara konsisten, lalu menularkan kebaikan itu, kepada semua orang, yang belum pernah tersentuh oleh kebaikan yang sama. Jadilah aktivitas berbuat baik itu menjadi semacam 'multilevel marketing.' Maka, di film itu, satu inisiatif perbuatan baik - yang dilakukan oleh aktor utamanya; seorang anak - menyebar seantero kota, menjadi kegiatan kolektif. Di sana terkandung bermacam kekuatan. Kekuatan rencana (niat/isisiatif). Kekuatan konsistensi (istiqomah). Dan kekuatan teladan. Kekuatan yang terakhir akan kita jadikan atribut berikutnya dari orang-orang hebat.

Kekuatan teladan. Teladan mengandung dua unsur. Pertama, selalu fokus pada diri (starting from self). Inilah nama lain dari amal yang terlaksana. Tidak sekedar rencana. Bukan sekedar ucapan. Melainkan tindakan. Kedua, sang pemberi teladan sadar bahwa dirinya menjadi cermin pantul bagi sesamanya dan bagi masyarakatnya. Sehingga perbuatannya diusahakannya selalu bernilai positif, bermanfaat, dan progresif.

Kedua unsur itu membentuk kepribadian manusia-manusia hebat. Unsur pertama menjadikan mereka sibuk dengan upaya diri memaksimalkan potensi, bukan mengurusi kesalahan dan kelemahan orang, tapi abai pada kesalahan dan kelemahan diri sendiri. Sehingga pada masanya mereka tampil sebagai orang-orang yang memiliki pesona rasa, kata, dan karya yang terberdaya, yang layak dijadikan contoh bagi orang-orang disekitarnya. Unsur yang kedua sejatinya mendasari diri mereka untuk tetap dalam ruang etika universal yang mulia. Mereka sadar tidak hidup dalam ruang hampa. Mereka sadar hidup bersama. Dan karnanya mereka sadar ada misi penciptaan. Misi tentang keteraturan, kesejahteraan, dan kemakmuran dunia milik bersama.

Selanjutnya, teladan adalah perkara penciptaan karakter. Seperti halnya kepemimpinan. Bahkan, menurut saya, inilah aksen pertama dan yang paling utama dalam domain (konsep) kepemimpinan. Per defenisi, kepemimpinan adalah seni mempengaruhi orang lain untuk melakukan apa yang kita inginkan. Dan, mempengaruhi bukan memerintah, tidak pula memaksa. Mempengaruhi mengandung pesan kerelaan dan keikhlasan pada objek yang kita pengaruhi. Dan, jamak bagi kita, proses mempengaruhi menjadi semakin mudah dengan pemberian teladan. Seorang pemimpin yang rajin dan selalu tepat waktu dalam menghadiri pertemuan atau rapat-rapat, misalnya, akan menemukan karyawannya berlaku demikian juga. Mungkin awalnya karena segan dan takut pada atasan. Tapi, lama kelamaan akan terbiasa. Sebelum akhirnya menjadi karakter. Kata Stephen R. Covey dalam Seven Habit : "Taburlah gagasan. Petiklah perbuatan. Taburlah perbuatan. Petiklah kebiasaan. Taburlah kebiasaan. Petiklah karakter. Taburlah karakter. Petiklah nasib."

Dengan demikian, teladan adalah jalan pemimpin. Sementara, orang hebat selalu berpeluang (dan berkeinginan) menjadi manusia-manusia pemimpin. Pemimpin bukan dalam arti posisi dan jabatan, tapi dalam arti tindakan. Leadership is not a position, but is an action. Orang hebat memilih jalan keteladanan. Dengan memaksimalkan potensi, memperbaiki diri, dan kesadaran memberikan yang terbaik bagi masyarakatnya, orang hebat sedang membangun peradaban. Dimulai dari diri sendiri. Dimulai dari yang kecil. Dan dimulai sekarang juga.

Orang Hebat Hidup Dengan Semangat Kemuliaan


Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku

hanya untuk AllohTuhan semesta alam.

al-An'am: 162

Semangat dalam pengertian umum digunakan untuk menengarai minat yang menggebu, kegigihan, dan pengorbanan untuk meraih tujuan tertentu. Semangat melazimkan pengorbanan atas apa yang dimiliki - berupa materi, tenaga, pikiran, bahkan jiwa - untuk memenuhi apa yang diinginkan.

Seorang siswa gigih belajar hingga larut malam, berhari-hari, dan tak kenal lelah untuk memenuhi harapannya lulus UMPTN dan diterima di perguruan tinggi idaman. Seorang politisi tak kenal lelah senggol kanan-kiri, melakukan lobi-lobi, demi sebuah prestise berrnama kekuasaan, dst. Itulah semangat, itulah antusiasme, dalam sebagian fragmen kehidupan kita.

Yang akan kita bicarakan dalam bagian ini adalah semangat orang hebat. Semangat yang bertabur kemuliaan. Kemuliaan buah dari amal shaleh yang berdampak luas bukan hanya bagi dirinya pribadi, tapi juga bagi umat manusia dan kehidupan. Orang hebat bersemangat dalam amal yang terakhir disebut. Semangat mereka kekal dan abadi karena mereka mendasarkan tujuan dan pengharapan pada posisi yang benar - pada dzat yang kekal dan abadi, Tuhan Illahi Rabbi.

Inilah sumber motivasi yang menghasilkan kemuliaan. Meski kita kenal sumber-sumber lain berbentuk materi, pengakuan, penghargaan, prestise, semuanya bersifat sementara. Materi, siapa bisa jamin tetap dalam genggaman kita. Mungkin hari ini kita di atas bergelimang kekayaan. Esok hari bisa jadi kita di bawah bergumul dengan kemiskinan. Hari ini dipuji. Lain hari bisa jadi kita dimaki. Hari ini beroleh penghargaan. Kapan hari ada masanya kita dalam penghinaan, dst. Berharap kaya, harus siap miskin. Berharap pengakuan, harus siap dengan penolakan/pelecehan. Berharap penghargaan, harus siap dengan penghiaan, dst.

Mendasarkan semangat diri pada hal-hal di atas, berarti harus bersedia menerima kekecewaan. Semangat mudah sekali kendur. Semangat sangat mungkin luntur dengan cepat, secepat membalikkan telapak tangan. Lain halnya jika semangat didasarkan pada keridhaan Tuhan. Keridhaan-Nya kekal. Maka, semangatpun tak mengenal anfal. Ridha-Nya membuat hati kita ridha. Hati yang ridha tak mengenal sesal dan kecewa. Yang tersisa darinya hanyalah luasnya samudera penerimaan. Buahnya tentu saja kebahagiaan. Apa yang bisa menandingi kebahagiaan buah dari keridhaan?

Jika sumber terakhir yang dijadikan dasar, soal materi, pengakuan, penghargaan, dan prestise lebih sering mengikuti di kemudian hari. Jikalau tak beroleh keempat-empatnya sekalipun, hatinya tetap bahagia, hidupnya terasa bermakna karena ia memenangkan Alloh dari dunia dan segala isinya. Semangatnya tak pernah lekang dimakan zaman. Semangatnya tak pernah surut, meski (perolehan) materi tak pernah menghampirinya barang sejenak.

Semangat inilah yang dipunya oleh generasi pilihan umat. Semangatnya tumbuh, antara lain, dalam pribadi Imam Bukhari dan Imam Muslim yang mampu mengumpulkan ribuan hadits shahih. Semangat yang ada dalam diri Imam Syafi'i yang mampu menghafal ribuan hadits dan merumuskan ribuan fatwa. Ada dalam diri Ibnu Katsir yang mampu menulis berjilid-jilid kitab tafsirnya, sebagaimana Ibnu Hajar Al-Atsqolani mampu melahirkan kitab Syarah Shahih Bukhari yang ketebalannya mengagumkan itu. Semangat itu juga menjelma dalam diri Imam Al-Ghazali sehingga dapat melahirkan kitab Ihya' Ulumiddin yang sangat fenomenal.

Semangat mereka luar biasa. Hasilnya karya mereka sungguh mempesona. Mereka sedemikian produktif menulis berlembar-lembar karya tulis padahal zamannya belum ada pena yang tintanya terus mengalir, belum ada mesin tik, belum ada komputer apalagi laptop dan PDA.

Dari sisi materi apa yang mereka peroleh? Mereka hampir-hampir sepi dari kekayaan duniawi. Imam Syafi'i yang terlahir miskin dan yatim sampai harus menegaskan keadaannya: "Aku rasa kecerdasanku akan memberikanku kekayaan yang melimpah," kata beliau. "Tapi," katanya lagi, "setelah aku mendapatkan ilmu ini, sadarlah aku bahwa ilmu ini tidak boleh dituntut untuk mendapatkan dunia. Ilmu ini hanya akan kita peroleh jika dituntut ia untuk kejayaan akhirat." (diambil dari Serial Kepahlawanan, M. Anis Matta, di Majalah Tarbawi, Edisi 59, 15 Mei 2003).

Itulah pilihan (semangat) Imam Syafi'i, demikian juga dengan ulama-ulama yang tersebut di atas. Mereka sadar ilmu agama mereka tidak berada dan tidak boleh berada pada pusaran harta duniawi. Mereka memenangkan akhirat (ridha Ilahi) di atas harta duniawi. Mereka adalah orang-orang miskin yang terhormat. Sebab kemiskinan bagi mereka adalah pilihan hidup, bukan akibat ketidakberdayaan. Pilihan, akibat memenangkan akhirat di atas segalanya.

Mereka memang sepi dari harta duniawi, tapi jangan tanya peran dan jasa mereka bagi generasi umat setelah mereka. Mereka meninggalkan warisan yang tak pernah putus manfaatnya bagi umat manusia. Mereka pun beroleh pahala yang tak pernah putus dihadang kematian - pahala dari ilmu yang bermanfaat.

Posisi hati mereka benar. Dasar pijakannya pun benar. Sehingga semangat mereka tak pernah padam. Mereka bekerja karena panggilan jiwa (calling). Panggilan untuk memenuhi ridha Ilahi. Atas dasar itu, hidup mereka bertabur kemuliaan dunia dan akhirat.

Orang Hebat Hidup Bertabur Manfaat


Ada satu hadits Nabi yang sangat populer berbunyi: khairun nas anfa'uhum lin nas. Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak mafaatnya bagi sesamanya. Hadits ini disampaikan dengan bahasa yang sangat positif (positive talk). Pertama, kata khairun nas berarti "yang terbaik diantara manusia." Kedua, kata anfa'uhum berarti "yang paling bermanfaat."

Paling bermanfaat. Meskipun kita tahu tidak ada yang dapat meraih kesempurnaan dalam hal apapun - termasuk kemanfaatan dirinya - bunyi hadits itu mendorong setiap orang untuk menjadi yang "ter" diantara sesamanya. Inilah bahasa motivasi. Selalu ada - baik tersurat maupun tersirat - muatan: Pertama, isyarat kesempurnaan sebagai patokan tujuan. Kedua, supaya isyarat itu lebih menggerakkan diadakan kesan kompetisi (fastabiqul khairat). Sehingga kesempurnaan yang dimaksud bersifat relatif (dibandingkan) diantara sesamanya (manusia) dalam hal-hal yang positif.

Bagimana menjadi orang yang "ter" atau "paling bermanfaat"? Pertama, niat menjadi orang yang paling bermanfaat. Niat adalah posisi hati pada pekerjaan yang dimaksud. Niat, lalu menjadi orientasi. Makanya, niat menjadi sangat personal bagi setiap orang. Inilah ekspresi personal statement yang paling dasar - dan juga fundamental - bagi setiap orang. Masih ingat hadits Innamal a'mal bin niyat....dst? Betapa niat, disinyalir di hadits itu, dapat menentukan hasil - bahkan sebelum prosesnya berjalan.

"Menjadi orang bermanfaat", dengan demikian, harus menjadi pernyataan diri. Inilah pernyataan misi (mission statement) kita di awal kita memperoleh kesadaran/pencerahan diri (personal enlightment). Contoh teknis misi (ingin) menjadi orang bermanfaat: Saya adalah hamba Alloh yang berpendidikan, cerdas, dan prestatif yang bertekad untuk selalu belajar dan berbuat baik kepada sesama dengan cara memberdayakan masyarakat di sekitar saya. Niat - pernyataan misi - ini harus mengendap sampai alam bawah sadar sehingga mudah tergerak untuk menjadi (being).

Kedua, kemanfaatan lahir dari semua kebaikan. Lakukan semua yang baik dengan cara-cara yang benar. Kebaikan adalah kata kerja. Dia tidak perlu disebut berulang-lang, cukup difahami dan dilaksanakan. Prosesnya: menemukan, mengembangkan, dan menyebarkan. Temukan satu, dua, tiga, dst pekerjaan yang baik. Lalu kembangkan pekerjaan itu. Dan orientasikan untuk peningkatan kualitas insani orang banyak – untuk peningkatan wawasan, keterampilan, kesejahteraan, kebahagiaan, dll. Dengan begitu, penemu (ilmuwan-peneliti), industrialis yang mengembangkan produk - yang niatnya tidak hanya laba, distributor, dst menjadi orang-orang yang beroleh kemanfaatan diri.

Pegiat ilmu - ilmu apapun dari ilmu eksak, sosial humaniora, agama, dll - yang mau menyebarkan ilmunya untuk diamalkan, dimanfaatkan, dan atasnya lahir kemanfaatan yang lain juga masuk sebagai orang-orang yang beroleh kemanfaatan diri. Pengajar, dosen, juru suluh, juru dakwah, asatidz, penulis, dll masuk dalam golongan ini. Tidak terbatas pada dua hal itu. Intinya semua hasil karya yang dapat meningkatkan kualitas insani untuk sebanyak-banyaknya orang - itulah yang dinilai sebagi amal yang bermanfaat. Dan pelakunya adalah orang yang bermanfaat hidupnya. Tidak harus profesi, pekerjaan, status formal, yang penting mendatangkan manfaat.

Setelah kita memahami esensi aktivitas-peran yang mendatangkan manfaat, lalu bagaimana kita menjadi yang paling bermanfaat dalam berbagai aktivitas-peran itu? Caranya adalah dengan memosisikan diri secara benar dan tepat. Pertama, jadilah yang pertama (be the first) atau pengambil inisiatif atas segala bentuk perbuatan baik. Kedua, jadikan inisatif perbuatan baik itu benar-benar berkualitas dan prestatif. Usahakan setiap perbuatan baik bernilai optimal - vertikal untuk mendapatkan ridho-Nya, horisontal manfaatnya sampai pada orang-orang yang membutuhkan. Dan ketiga, the power of concistency. Konsisten melakukan perbuatan baik sehingga menjadi kebiasaan dan mengkarakter. Show habit reap character. Jangan lakukan, di satu sisi kehidupan kita berbuat baik, pada saat yang bersamaan, di sisi lain kita berbuat buruk atau tercela. Konsistenlah!

Menjadi paling bermanfaat. Inilah motivasi orang hebat. Mereka tak pernah berhenti mencari-cari peluang amal kebaikan. Ketika dapat, mereka jadi orang pertama yang mengambil pekerjaan itu. Bekerjanya bukan setengah hati, bukan pula mengharap puji, tapi dengan kesungguhan sehingga berkualitas dan bertabur prestasi. Orang-orang pun merasakan manfaat darinya. Orang hebat sadar, pekerjaannya harus berujung manfaat buat masyarakat. Manfaat yang tidak biasa, tapi luar biasa!

Orang Hebat Hidup Berprinsip


Dalam bukunya yang bagus Principle-Centered Leadership, Stephen R. Covey mengatakan bahwa setiap diri manusia dan organisasi memiliki prinsip sentris yang bila diaplikasikan secara baik dapat meningkatkan mutu dan produktivitas. Prinsip-sentris, kata Covey, merupakan satu pendekatan jangka panjang yang bersifat inside-out untuk mengembangkan manusia dan organisasi. Saya sependapat dengan Covey, prinsip adalah inti kekuatan untuk perubahan hidup yang lebih baik. Dengan berprinsip manusia bukan lagi sekedar seonggok daging yang bertulang. Lebih dari itu, manusia menjadi makhluk paling mulia dan berharga dari makhluk manapun.

Prinsip. Ia adalah ekspresi nilai yang harus dipegang teguh oleh setiap manusia beradab. Prinsip memberikan arah. Prinsip mendorong setiap orang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Prinsip adalah ukuran. Orang yang berprinsip adalah orang yang punya ukuran atas tindakan dan perbuatan yang dilakukannya. Dengan demikian, tidak bisa tidak, prinsip berbicara baik-buruk dan benar-salah. Prinsip mempertegas apa yang baik dan apa yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah.

Bagaimana prinsip bekerja? Salah satu ciri orang dewasa adalah bijaksana. Orang yang bijaksana adalah orang yang memiliki pertimbangan atas pilihan-pilihan hidupnya. Pertimbangan itu di dasarkan pada prinsip. Dan orang yang bijaksana selalu mendasarkan diri pada prinsip-prinsip yang baik dan benar. Karena mereka tahu, prinsip yang baik mendatangkan manfaat dan prinsip yang benar mendatangkan kebahagiaan. Apa yang dicari dalam hidup selain manfaat dan kebahagiaan? Itulah tujuan akhir orang-orang hebat. Mereka punya prinsip yang baik dan benar. Makanya, mereka selalu bermanfaat dan merasa bahagia hidupnya.

Bagaimana wujudnya prinsip? Tanpa sadar, komitmen kita, keyakinan kita, keberpihakan kita atas banyak hal, bahkan eksistensi kita di dunia ini mengandung prinsip yang harus kita pegang teguh. Islam itu prinsip. Iman itu prinsip. Orang yang ber-Islam harus taat pada serangkaian syari'at yang ditetapkan lewat kalam-Nya maupun lewat lisan nabi-Nya. Demikian juga, orang yang mengaku beriman harus memenuhi konsekuensinya: tidak menyekutukan-Nya, tidak bergantung kepada selain-Nya, dll. Apa ketentuan Alloh tentang hidup? Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah. Orang yang mengaku berislam dan beriman, mau tak mau, harus memenuhi prinsip ini (ibadah).

Ada hadits yang menjelaskan tiga tanda orang munafik: (1) Jika berbicara bohong. (2) Jika berjanji ingkar. Dan (3) jika dipercaya khianat. Mafhum mukholafah-nya, sifat jujur, tepat janji, dan amanah harus menjadi prinsip orang yang beriman. Kecuali dia mau menjadi orang munafik. Yang lain, misal, kita mendukung demokrasi. Inti dari demokrasi adalah kebebasan yang bertanggung jawab, kesetaraan, dan kesamaan. Kalau kita mau dibilang sebagai demokrat, ya kita harus berpegang pada tiga hal itu - untuk diri kita sendiri maupun sikap kita kepada orang lain. Tiga hal itulah yang menjadi prinsip demokrat, dll.

Orang hebat memahami komitmennya, keyakinannya, keberpihakannya terhadap banyak hal, dan hidup itu sendiri sebagai prinsip. Mereka berusaha mengendapkan dan menanamkan prinsip itu dalam hati. Sebelum mereka bertindak atau melakukan sesuatu, mereka selalu meminta nasihat hatinya. Mereka memenuhi apa yang dikatakan Nabi: Mintalah nasihat pada hatimu atas perbuatan kamu. Perbuatan jelek itu akan membuat hati tidak nyaman. Sedangkan perbuatan baik itu akan membuat hati tentram.

Orang hebat pantang menodai prinsipnya. Orang hebat pantang melukai hatinya. Mereka benar-benar memahami itulah cara dia hidup mulia. Seorang Gandhi, betapapun ia hidup sengsara, ia tetap menolak koloni terhadap bangsanya. Ia terus melawan dengan cara-cara (baca: prinsip) tanpa kekerasan meski banyak yang harus ia korbankan. Jauh sebelum Gandhi, kita punya teladan mulia, Muhammad saw. Imannya kepada Alloh membuatnya berani menentang penyembahan terhadap berhala-berhala. Padahal ritual itu jamak dilakukan orang-orang Quraisy pada masa itu. Ketika pamannya Abu Thalib menasehati Nabi untuk menghentikan risalah itu, apa kata Nabi? "Paman, demi Alloh, kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya aku meninggalkan risalah ini, sungguh tidak akan aku tinggalkan, biar nanti Alloh yang akan membuktikan kemenangan itu: di tanganku atau aku binasa karenanya."

Itulah keteguhan Muhammad saw dalam memegang prinsip. Prinsipnya mengendap di hati dan menggumpal menjadi keyakinan. Keyakinan membuatnya berani. Itulah prinsip yang terlaksana. Kita tentu ingin seperti beliau. Untuk itu saya tutup tulisan ini dengan pertanyaan Ali bin Abi Thalib kepada Nabi tentang prinsip yang beliau jadikan pegangan. Pahami kata-katanya satu persatu dan temukan rahasia kehebatan Muhammad saw.

Ma'rifat adalah modalku,

akal pikiran adalah sumber agamaku,

rindu kendaraanku,

berdzikir kepada Alloh kawan dekatku,

keteguhan perbendaharaanku,

duka adalah kawanku,

ilmu adalah senjataku,

ketabahan adalah pakaianku,

kerelaan sasaranku,

faqr adalah kebangganku,

menahan diri adalah pekerjaanku,

keyakinan makananku,

kejujuran perantaraku,

ketaatan adalah ukuranku,

berjihad perangaiku,

dan hiburanku adalah dalam sembahyang

Orang Hebat Berani Mengambil Resiko


Selalu ada satu saat di masa lalu ketika pintu terbuka, dan masa depan

masuk ke dalamnya dengan leluasa.

- Deepak Chopra -

Hidup manusia di dunia tidak lepas dari dua hal berikut: peluang dan resiko. Nasib setiap orang lebih banyak ditentukan oleh bagimana keduanya ditangkap dan dikelola daripada oleh yang lainnya. Peluang dan resiko ibarat dua sisi dari sekeping mata uang. Keduanya lekat tak terpisah. Menangkap peluang berarti sekaligus berani mengambil resikonya. Tidak ada peluang tanpa resiko. Sebaliknya, resiko adalah konsekuensi logis dari pilihan kita untuk menangkap setiap peluang. Memilih untuk menjadi pegawai, resikonya harus siap diperintah atasan. Sebaliknya, memilih untuk menjadi wirausahawan, resikonya penghasilan sering tidak menentu. Memilih untuk melamar anak orang, resikonya harus siap (saling) berbagi dan menanggung hidup masing-masing. Sebaliknya memilih hidup membujang, resikonya tiap hari kesepian di rumah, apalagi kalau malam datang, dan lain-lain.

Orang sering takut mengambil peluang karena takut resikonya. Pun setelah peluang diambil, banyak orang gagal karena tidak bisa mengatasi resiko. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keberhasilan sejatinya adalah resultan dari usaha seseorang dalam menangkap peluang dan mengatasi resikonya. Orang yang ingin berhasil - dalam hal apapun, dengan demikian, harus punya keberanian untuk menangkap peluang dan mengambil resikonya sekaligus. Menangkap peluang berarti menjadi orang-orang pertama (pioner) yang take action atas sesuatu hal. Sementara mengambil resiko diartikan sebagai tidak takut pada resiko serta punya bekal ilmu dan rencana untuk mengatasi resiko tersebut. Keberaniaan terakhir akan kita jadikan ciri kesekian dari orang hebat.

Keberaniaan mengambil resiko dalam pengertian di atas menjadikan orang tidak asal ambil resiko atau asal ambil peluang, tapi benar-benar keberaniaan yang didasarkan pada perhitungan yang memadai, bukan ke-nekad-an. Banyak orang gagal karena hal terakhir. Maunya dibilang berani, tapi sesungguhnya nekad. Banyak orang maunya berwirausaha, tapi malah jadi pengangguran. Banyak orang ingin rumah tangganya bahagia, tapi malah sebaliknya, dst. Apa yang dimaksud dengan perhitungan yang memadai sesungguhnya ada pada aspek perencanaan setiap orang. Sekali lagi, ini menegaskan betapa pentingnya perencanaan dan komitmen pelaksanaannya. Orang hebat punya itu. Punya rencana dan punya komitmen pelaksanaan. Sehingga ketika masanya tiba, peluang tak akan lari kemana, resiko tak harus jadi momok yang menakutkan.

Mereka, orang-orang hebat, selalu berusaha menjadi pioner (assabiqunal awwalun) atas berbagai peluang di hadapan. Tetapi, mereka memilih menjadi pioner yang punya perhitungan yang memadai. Sehingga keberanian mereka bukan ke-nekad-an yang dipaksakan. Mereka tidak takut menghadapi resiko karena mereka punya ilmu, wawasan, dan keterampilan, lalu mereka susun rencana, dan mereka punya komitmen pelaksanaan atasnya.

Dengan begitu, tidak ada istilah takut dalam kamus orang-orang hebat. Memang, adakalanya mereka harus hati-hati memutuskan. Ada masanya mereka harus memperhitungkan waktu, situasi, dan kondisi. Namun, ketika keputusan telah diambil, tak pantang menyerah pada masalah, tak pantang mundur apalagi kabur menghadapi masalah. Mereka selalu punya ruang yang luas untuk mengevaluasi, merencanakan kembali, dan memulai investasi lagi (baca: usaha perbaikan) atas pilihan peluang yang diambil.

Orang hebat melihat dan menjalani proses sebagai pembelajaran. Sehingga, jika kegagalan sekalipun yang datang, difahaminya sebagai jalan panjangnya kesuksesan. Apa yang muncul kemudian adalah pikiran-pikiran positif dan solutif atas permasalahan. Di sanalah letak keberanian orang hebat. Berani mengambil resiko karena punya rencana. Berani mengambil resiko karena punya cara pandang pembelajar. Mereka tak pernah berhenti berproses (on becoming) menjadi lebih baik sebelum akhirya menjadi yang terbaik. Maka benarlah apa yang diungkapkan oleh bait-bait puisi anonim berikut ini:

Resiko

Tertawa adalah mengambil resiko terlihat bodoh.

Menangis adalah mengambil resiko terlihat sentimental.

Menjangkau yang lain adalah mengambil resiko terlibat.

Mengungkapkan perasaan adalah mengambil resiko menunjukkan diri yang

sesungguhnya.

Menunjukkan gagasan dan impian anda di depan orang banyak adalah mengambil resiko

merasa malu.

Mencinta adalah mengambil resiko tidak dicinta.

Hidup adalah mengambil resiko mati.

Berharap adalah mengambil resiko putus asa.

Berusaha adalah mengambil resiko gagal.

Tapi resiko harus dihadapi, karena bahaya terbesar dalam hidup ini adalah tidak mengambil resiko sama sekali.

Orang yang tidak berani mengambil resiko tidak akan melakukan apa-apa, tidak punya apa-apa, dan bukan siapa-siapa.

Mereka mungkin menghindari penderitaan dan kesengsaraan, tapi mereka tidak bisa belajar, merasakan, mengubah, tumbuh, mencintai, atau hidup.

Dalam keadaan terikat oleh kepastian, mereka adalah para budak. Mereka telah mengekang kebebasan mereka sendiri.

Hanya orang yang berani mengambil resiko adalah orang yang bebas