Minggu, November 02, 2008

Orang Hebat Memiliki Ketajaman Spiritual


Spiritual oleh orang kebanyakan sering dikaitkan dengan agama. Aksentuasi yang paling tepat dari istilah ini sesungguhnya terkait dengan aspek pemaknaan atas segala sesuatu. Sehingga apapun agamanya, pemaknaan selalu dapat muncul atau dimunculkan sebagai sebuah spirit kehidupan. Meskipun kalau kita kaji lebih dalam, pemaknaan tertinggi akan selalu menempatkan Sang Causa Prima, pada puncaknya. Dan untuk itu beribadah (dalam arti ritual) menjadi bagian dari kebutuhan spiritual.

Spiritual. Inilah puncak tertinggi capaian pemenuhan kebutuhan manusia. Stephen R. Covey menengarai empat kebutuhan berdasarkan tingkatannya: to life (hidup), to love (mencinta/bersosial), to learn (belajar), dan puncak tertinggi to leave a legacy (bermakna/spiritual). Jauh sebelum Covey, Abraham Maslow membuat hirarki kebutuhan manusia. Dimulai dari dasar: kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan untuk mencinta, kebutuhan akan penghargaan, dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Di buku diktat, itulah lima tingkatan kebutuhan Maslow. Namun menjelang ajalnya menjemput, tidak banyak orang yang tahu kalau dia menambahkan satu tingkat tertinggi, yakni kebutuhan transendensi (kebutuhan spiritual).

Baik Maslow maupun Covey sadar betul menempatkan Spiritual sebagai puncak kebutuhan. Karna spiritual terkait dengan aspek-aspek pemaknaan, hidup bertujuan, berintegritas dan memiliki sumbangan/warisan (hidup bermanfaat). Ia tidak lagi hanya berkutat pada diri, tapi sekaligus pada diri-diri di luar sana, pada kemanusiaan universal, dan pada peradaban. Sangat jelas dalam Hirarki Maslow, lima kebutuhan sebelumnya berorientasi pada diri, sementara Transendensi melepaskan semua atribut diri untuk masuk pada atribut-atribut pengabdian, pengorbanan, dan sumbangan.

Dalam bahasan tentang Spiritual Intelligence (Spiritual Quotient, SQ), bahkan oleh pencetusnya pertama kali, Danah Zohar dan Ian Marshall, (Kecerdasan) Spiritual disebut sebagai The Ultimate Intelligence. Apa dasarnya? "SQ is the necessary foundation for the effective functioning of both IQ and EQ," ungkap Danah Zohar dan Ian Marshall dalam bukunya itu. Berbeda dengan IQ (kemampuan untuk belajar dan mencipta) dan EQ (kemampuan bersosial) yang lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan fisik dan emosional, SQ memenuhi kebutuhan jiwa (soul). Jika IQ bersandarkan pada nalar, rasio, intelektual, sementara EQ pada emosi, maka hakikat sejati SQ disandarkan pada the soul's intelligence. Ia membangkitkan pusat dari kesadaran setiap insan. Pusat penentu pilihan baik atau buruk - benar atau salah, HATI.

Karena itu, mengutip Sukidi dalam New Age, Wisata Spiritual Lintas Agama (2001), pekik SQ adalah suara hati (conscience). Suara yang paling jernih dalam hiruk pikuk kehidupan kita, yang tidak bisa ditipu oleh siapapun, termasuk diri kita sendiri. Kebenaran sejati terletak pada conscience ini. Karena itu SQ menyingkap kebenaran sejati yang lebih sering tersembunyi (hidden truth) di tengah adegan-adegan hidup yang serba palsu dan menipu. Kodrat SQ adalah fitrah yang selalu dalam kondisi - istilah penganut filsafat eksistensialisme - "the peace of the all sufficient." Inilah kiranya yang disebut sebagai nafsu al muthmainnah. Jiwa yang damai dan tenang, yang bisa menjalin kontak spiritual dengan Ilahi Rabbi. Hingga Alloh bersenandung indah kepadanya: "ya ayyatuhan nafsul mutmainnah. irji'i ila rabbiki raadhiyatan mardiyyah. fadkhuli fi 'ibadii wadkhulii jannatii (al-Fajr: 27-30).

Selanjutnya ekspresi SQ itu dipantulkan dalam etika sosial. Bersumber pada kesadaran hati. Mengikat makna kejadian-kejadian setiap hari. Lalu tergerak untuk berkontribusi. Membuat dan meninggalkan warisan kepada makhluk di bumi. Inilah puncak kesadaran diri. Kesadaran untuk menebar makna sepanjang masa melampaui batas usia yang ditentukan-Nya. Dan orang hebat punya kesadaran itu. Kesadaran untuk mempertajam mata spiritualnya (eye of the heart).

Tidak ada komentar: