Senin, November 10, 2008

Orang Hebat Tergerak Untuk Membangun The Dream Team


Dekade 90-an kita dibuat terkesima oleh kepiawaian pebasket-pebasket Amerika mengalahkan pebasket seluruh dunia. Negeri Paman Sam itu kemudian menjadi pusat perhelatan kejuaraan basket yang menyedot perhatian peminat basket di seluruh dunia. Mereka berhasil mengangkat citra NBA Competition menjadi mendunia. Anak-anak remaja hapal di luar kepala dan menjadikan idola para jawara basket mereka, dari Michael Jordan sampai Cobe Bryant. Mereka memberi nama para jawara itu dengan julukan The Dream Team.

Seingat saya, inilah awal mula the dream team menjadi nge-trend di seluruh dunia. Demi menunjukkan semangat kompetisi. Semangat kebersamaan. Semangat kebanggaan. Semangat juara. Semangat kemenangan, banyak group, kelompok, atau bentukan sejenis menamai diri mereka sebagai the dream team. Julukan ini kemudian menjadi lekat dengan keseharian kita - tidak hanya dalam olah raga tapi - dalam aktivitas kerja sama, organisasi, organiaksi, dll. Team impian! sebuah julukan yang padanya diembankan mimpi, cita-cita, dan harapan para anggota dan pendukungnya.

Team impian. Bayangan kita, di dalamnya pastilah berisi orang-orang yang hebat. Para jawara. Para idola. Yang menjadi orang pertama diantara sesamanya (primus interparest). Pertama dalam prestasi. Pertama dalam kualitas. Dan pertama dalam kelebihan-kelebihan lainnya. Mereka bersatu untuk mengagregasikan potensi menjadi kekuatan aksi yang luar biasa. Kinerja team, tidak lagi bersifat penjumlahan yang linear. 1 + 1 tidak lagi sama dengan 2 melainkan bisa 3, 4, 5, dan seterusnya. Team bukan penjumlahan individu hebat menjadi sekian individu hebat. Tapi team merupakan kolektifitas kualitas yang bekerja mengahasilkan x pangkat.

Darinya dapat ditarik dua buah pemahaman sebagai berikut: Pertama, orang hebat bertemu orang hebat lalu bersepakat membangun sebuah team menghasilkan hebat pangkat sekian – bukan dua orang hebat. Sehingga team memiliki kekuatan yang berlipat dalam menggerakkan dan memberi arah perubahan, lebih dari yang bisa dilakukan individu per individu. Kedua, tiap-tiap individu yang tergabung dalam team mendapatkan insentif peningkatan kualitas hasil dari relasi yang saling take and give diantara sesama orang hebat di dalamnya. Motto untuk pemahaman yang pertama kira-kira adalah Together Everyone Can Do More. Sementara motto untuk pemahaman yang kedua - tersusun dari arti huruf TEAM - yaitu Together Everyone Achieves More.

Together Everyone Can Do More. Motto ini menandai sebuah semangat perbaikan dan kemajuan kolektif. Betul bahwa perbaikan harus dimulai dari diri sendiri (starting from self), tapi seterusnya untuk menggerakkan perbaikan dalam ruang yang lebih luas kolektifitas menjadi keharusan. Orang hebat begitu selesai mengoptimalkan potensi diri (baca: mampu memberi teladan) bergabung dengan orang hebat lainnya, membangun sebuah team - the dream team - dan memulai kerja-kerja untuk perbaikan.

Pemahaman di atas sejalan dengan pengertian mujaddid (pembaharu) dalam arti: sosok pribadi yang berusaha melejitkan potensi dirinya dan menggerakkan orang-orang di sekitarnya (dalam kerangka kolektif) menjadi lebih baik. Contoh paling baik dan aktual dari semangat kolektifitas ini adalah Gema Nusa (Gerakan Membangun Nurani Bangsa?) yang dipelopori oleh Aa Gym. Orang-orang hebat selayaknya ikut membangun dan bergabung dengan gerakan semacam ini.

Together Everyone Achieves More. Bukannya mengurangi kelebihan masing-masing, sebuah team menjadikan setiap orang hebat yang tergabung di dalamnya menjadi semakin hebat. Motto tersebut mengandung semangat kebersamaan dan persaudaraan yang saling menyempurnakan. Team membuat yang tidak kenal menjadi saling kenal. Setelah kenal lalu saling mamahami. Setelah paham lalu saling menolong. Setelah itu lalu saling melengkapi dan menyempurnakan. Bersamaan dengan proses itu terjadi transfer of knowledge, share of vision, transfer of skill, dan transfer of experience yang memperkaya masing-masing individu.

Orang hebat akan selalu tergerak untuk membangun team, the dream team. Mereka sadar akan mendapatkan dua keuntungan sekaligus: Pertama, kerja untuk kemajuan dan perbaikan menjadi lebih mudah, efektif, dan efisien. Dan kedua, mereka mendapatkan insentif peningkatan kualitas diri dan proses self upgrading menjadi semakin mudah. Mereka makin hebat dan terus hebat. Mungkin ini yang disinyalir oleh Nabi sebagai: Innal barokata ma'al jama'ah. Sesungguhnya berkah (Alloh) ada pada jamaah (team).

Orang Hebat Terbuka Pada Perubahan

We are shaping the world faster than we can change ourselves
and we are applying to the present the habits of the past.
-- Winston Churchill

Ada satu hukum alam yang tidak pernah berubah, yaitu perubahan itu sendiri. Perubahan lahir sebagai respon alami menghadapi masa depan yang penuh misteri, terra incognita, kata Alvin Tofler. Siapa yang tidak berubah dalam dunia yang terus berubah, ia akan menjadi korban pertama dan utama dari sejarah manusia. Yesterday is history, tomorrow is mistery. Change is a must.

Sekedar menggambarkan, dalam dunia yang terus bergerak, kita mengenal banyak sekali istilah baru untuk menengarai perubahan ini: clazh of civilization, new economy, knowledge management, knowledge society, learning organization, network organization, crazy organization, virtual organization, bahkan virtual state, dan seterusnya. Isu-isu tidak lagi bersifat domestik-lokal, tetapi merupakan wacana global yang menembus batas-batas konvensional, borderless.


Informasi berseliweran tak terbatas. Pengetahuan tersebar luas. Namun sungguh ironis, tetap saja kita selalu gagal memprediksi masa depan yang lebih baik. Overloud informasi justru menjadikan kita gagap dalam memilih dan memilah mana yang bermanfaat bagi kita dan masa depan dan mana yang tidak bermanfaat. Dalam kondisi seperti ini, tepat apa yang diungkapkan oleh Winston Churchill di atas, dunia bergerak terlalu cepat melebih kecepatan manusia (pada umumnya) untuk berubah ¬– dalam cara fikir dan cara kerja. Artinya, kita bergerak terlalu lambat (to late and to litle)

Satu hal yang dapat kita deteksi dari proses perubahan ini, kita memasuki abad pengetahuan (knowledge age). Dengan demikian ia menuntut perubahan yang cepat pada struktur alam pikiran kita tentang apa, mengapa, dan bagaimana (selanjutnya) berbagai peristiwa terjadi dan interkorelasi satu dengan yang lainnya.

Dalam dunia semacam ini, SDM dan isi dibalik kepala (brain) dan kesadarannya (conscience) menempati posisi tertinggi dalam piramida aset. Manusia menjadi aset terpenting, karena itu pendekatannya mestinya efektivitas. Ini berbeda dengan aset lain dimana justru dibutuhkan pendekatan efisiensi. Makanya, saya heran pada negara ini, yang mengalokasikan budget untuk pendidikan sedemikian kecilnya. Pemerintah terjebak, menggunakan pendekatan dan pertimbangan efisiensi untuk urusan investasi SDM.

Demikian juga dengan masyarakat kebanyakan, tidak sedikit dari mereka yang kaya raya, namun enggan menanamkan uang untuk investasi SDM, mereka lebih suka berinvestasi untuk perusahaan, untuk barang, dan untuk uang itu sendiri (money for money). Betapa sedikit dari orang-orang kaya yang mendermakan hartanya untuk kemajuan SDM: mendirikan lembaga pendidikan berkualitas, memberikan beasiswa, dan sejenisnya. Dalam kondisi budaya masyarakat semacam ini, jauh panggang dari api berharap kita mampu berkompetisi di abad penetahuan dan informasi saat ini.

Secara individual, hendaknya setiap orang menyadari: Pertama, setiap orang adalah pemimpin. Kedua, setiap pemimpin (harus) menguasai perubahan. Dan ketiga, penguasaan atas perubahan mensyaratkan pemahaman atas tren mutakhir dalam arus besar di zamannya. Sekarang abad pengetahuan dan informasi. Seorang pemimpin di abad ini harus mampu mengadopsi dan mengembangkan nilai-nilai baru yang relevan dengan arus besar pengetahuan dan informasi. Pada abad ini, mengutip Andreas Harefa, pemimpin harus menjadi knowledge leader.

Kata "knowledge" atau "pengetahuan" tidak saja bermakna teori-teori dan konsep-konsep yang abstrak sebagaimana dipelajari di universitas atau sekolah bisnis konvensional-klasikal, melainkan juga keterampilan atau kompetensi tertentu, kemampuan melakukan tugas dan tanggung jawab kepemimpinan, termasuk kemampuan mengelola pengetahuan pada tingkat korporasi (knowledge management).

Pemimpin pada abad ini, meminjam konsep Kouzes-Posner dalam The Leadership Challenge, berperan utamanya dalam: challenging the process, inspiring a shared vision, enabling others to act, modelling the way, and encouraging the heart.

Dalam keadaan bangsa yang bingung kepada siapa teladan seorang pemimpin diperoleh saat ini, konsep Kouzes-Posner di atas, hendaknya membenam dalam setiap individu masyarakat. Kita yang harus mengambil peran-peran itu, dalam lingkup aktivitas dan kompetensi masing-masing. Untuk mengambil peran itu, pertama-tama, kita perlu membuka gembok-gembok psikologis di kepala kita – gembok yang selama ini membuat kita jumud, tertinggal, dan terbelakang – menjadi kita yang “BISA!,” “BERUBAH!,” dan “LEBIH BAIK!.”

Kedua, kita harus segera melakukan benchmarking – menyelaraskan diri – dengan kemajuan pengetahuan dan informasi. Kuasai pengetahuan, keterampilan, karakter dasar untuk dapat hidup, bergerak dan menggerakkan, di abad ilmu dan informasi ini. Belajar, membaca, berkarya dari dan untuk kemajuan ilmu dan informasi menjadi sebuah keharusan. Kemajuan dan perubahan menuntut kita untuk tidak lagi hidup dalam tempurung (alias jago kandang), yang sering berwujud nyata dalam egoisme kelompok, golongan, partai, kesukuan, bangsa, dan seterusnya.

Inilah tanggung jawab pemimpin di abad ini – belajar menjadi manusia universal yang menguasai kemajuan masyarakatnya: challenging the process, inspiring a shared vision, enabling others to act, modelling the way, and encouraging the heart. Selamat.

Orang Hebat Sadar Diri


Coba sebutkan siapa saja sosok yang muncul di benak Anda ketika diminta menyebut beberapa nama orang hebat? Karna apa? Atas dasar apa? Mungkinkah karna bakat, potensi, dan bukti prestasi atau karya-karyanya sehingga mereka dikatakan hebat. Ataukah karna kebaikan, ketulusan, dan teladan dirinya yang menjadikan mereka hebat. Anda benar, meraka hebat atas dasar itu semua. Dan satu hal, mereka sadar diri atas capaian mereka selama ini. Yah, orang hebat adalah orang yang sadar diri.

Kesadaran diri adalah ujung pangkal pengelolaan diri meraih prestasi. Jamak bagi kita bahwa prestasi melekat dalam pribadi orang hebat. Mereka sadar sebelum akhirnya menyadarkan. Mereka tergerak sebelum akhirnya menggerakkan. Mereka show sebelum akhirnya share. Sadar adalah sebentuk terma untuk menengarai kekuatan. Kekuatan pengubah dari lemah menjadi kuat dan hebat, dari biasa menjadi luar biasa, dari nobody menjadi somebody. Sadar berarti sepenuh akal dan sepenuh hati dalam berfikir, bersikap, dan bertindak. Sadar berarti memahami bahwa ada ruang pilihan diantara stimulus dan respon. Orang sadar menjadi sangat otonom, sangat merdeka, dan sangat berkuasa. Berkuasa atas pilihan-pilihan hidupnya.

Sadar diri memiliki dua dimensi. Satu dimensi "Aku" yang berorientasi ke dalam. Dan satunya dimensi "Mereka" yang berorintasi ke luar. Yang pertama adalah produk keakuaan (ego) yang selalu diawali dengan pertanyaan "Siapa Aku?". Lalu menyembul darinya pertanyaan-pertanyaan lainnya dan berujung pada sesosok pribadi yang memiliki "Konsep Diri." Dengan "Konsep" ini, diri mereka bukan hanya seonggok daging bertulang yang hidup dan melakukan aktivitas kehidupan. Namun, dengannya, mereka menjadi "hidup" memancarkan pesona rasa, kata, dan karya yang terberdaya. Ada pengakuan disana - pengakuan dari sesamanya - bahwa mereka punya selera rasa, kata, dan karya yang luar biasa. Artinya mereka bisa menunjukkan kepada dunia "keakuannya" dalam bentuk prestasi yang mungkin hanya berada dalam ruang-ruang idealita orang kebanyakan.

Sementara dimensi yang kedua, adalah produk dari interaksinya dengan banyak "Aku" di luar dirinya. Bentuknya bisa macam-macam: sinergi-kompetisi, memuliakan-menjatuhkan, pertemanan-permusuhan, dll. Orang-orang hebat memilih jalan manusia bertanggung jawab. Tidak sekedar tanggung jawab dari dan untuk dirinya, tapi juga tanggung jawab dari dan untuk kemanusiaan yang luas. Artinya begini, orang hebat selalu berfikir manfaat suatu perbuatan bukan hanya buat-"ku", tapi juga buat "mu" dan "mereka." Selalu ada ruang yang luas bagi kemajuan bersama orang-orang di sekitarnya.

Orang hebat memang memiliki "keakuan" yang kuat. Yang darinya menyembul berbagai pesona diri berupa rasa, kata, dan karya yang luar biasa. Namun, "keakuannya" selalu seiring dengan keinginannya untuk melihat potensi-potensi "aku" di luar dirinya juga berkembang. Maka orang hebat memilih jalan sinergi daripada kompetisi, pertemanan daripada permusuhan, memuliakan daripada menjatuhkan dan jalan-jalan lain yang memungkinkan semua potensi terberdaya dan memberdayakan. Orang hebat sadar dirinya - demikian juga orang lain - punya karunia bakat, talenta, dan potensi yang luar biasa. Ia berusaha mencari, menggali, menemukan, dan mengembangkan ketiganya dan dengan kesadaran penuh mengabdikannya untuk memenuhi risalah penciptannya: ibadah, menyempurnakan akhlaq, dan memakmurkan dunia.

Orang Hebat Punya Keyakinan Yang Kuat


Menurut Anda apa yang membuat Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali berlaku zuhud, wara', dan amanah selama memegang imamah? Menurut Anda apa yang menyebabkan Bilal bin Rabah begitu tabah dalam penyiksaan majikannya di awal ia berserah (islam)? Menurut Anda apa yang menyebabkan Umar bin Abdul Aziz demikian bisa berbuat adil pada rakyatnya ketika ia berkuasa memimpin Bani Umayyah. Padahal godaan duniawi begitu menguat pada masa hidupnya. Mengapa mereka memilih jalan itu, bukan jalan sebaliknya?.

Merekalah generasi pertama umat ini yang menorehkan cerita kemulian Islam di masanya. Merekalah orang-orang yang merasakan tarbiyatun nabi. Diluar kelebihan fisik dan materi, pada awalnya, mereka adalah manusia biasa. Namun kemudian berhasil menjelma menjadi manusia-manusia hebat di panggung sejarah umat. Kekuatan apa yang mampu mengubah mereka?. Dari biasa menjadi luar biasa!. Kekuatan itu adalah kekuatan "keyakinan", kekuatan "iman", kekuatan "aqidah."

Keyakinan adalah dasar kita berbuat dan melakukan sesuatu. Keyakinan sekaligus sumber semangat dan motivasi. Anda bisa bayangkan perbuatan yang dilakukan dengan keyakinan yang kuat. Ia akan memiliki daya yang luar biasa. Ia akan memenuhi hasilnya. Di sini keyakinan merupakan produk pikiran yang diterjemahkan menjadi ketetapan di hati serta berbuah sikap dan perbuatan. Pikiran mencerna setiap pilihan kita atas segala sesuatu. Ia mempertarungkan logika-logika akal sampai pada kesimpulan yang kita anggap 'benar.' Inilah fase ilmu dalam ruang pikiran kita. Fase ini membuahkan pemahaman yang menjadi bahan pertimbangan bagi semua ketetapan hati. Ketetapan hati yang didasarkan pada ilmu, pada pengetahuan, pada pemahaman sehingga hati tidak menjadi buta.

Di dalam hati, rekomendasi pikiran tidak serta merta diterima. Ia harus melalui screening nurani - membran azali nan fitri - yang dimiliki oleh semua manusia yang terlahir di dunia. Nurani inilah yang akan menentukan "Yes" or "No" semua rekomendasi pikiran atau akal. Logika-logika akal harus menyesuaikan diri dengan suara-suara hati nurani. Pertanyaan, mengapa A bukan B, dijawab secara rasional ilmiah oleh akal. Sementara, untuk menguak rahasia hikmah dibalik A dan B, hati nurani punya jawabnya. Inilah yang disimpulkan oleh pakar-pakar majamen qolbu sebagai "ketertundukan akal pada hati." Benar, kita berpijak pada pengetahuan dan pemahaman yang diproduksi akal-pikiran. Tapi, ia tak boleh melupakan apalagi menafikan suara-suara hati nurani. Dari sanalah menggumpal keyakinan - dasar kita percaya, bersikap, dan berbuat.

Jadi rumusnya kira-kira begini: Pilihan - Pikiran - Hati (Nurani) - Ketetapan - Keyakinan - Amal perbuatan. Rumus inilah yang selalu digunakan oleh orang-orang hebat. Sehingga pribadinya mantab. Perangainya kuat. Pilihan dan sikap hidupnya kokoh. Jarang sekali goyah, apalagi mengalami syndrome kepribadian pecah (split of personality). Narasinya kira-kira begini: Orang hebat memilih berdasarkan pertimbangan akal dan hati. Pertimbangan akal dan ketetapan hati menghasilkan keyakinan. Atas dasar keyakinan, pilihan menjadi mantab, kuat, kokoh dan full of energy.

Inilah pilihan yang selalu berbuah prestasi dan kemuliaan. Seperti pilihan para khalifah ar-rasyidun untuk melanjutkan risalah sekaligus menjadi pelayan umat. Hingga Islam sempat menggapai puncak-punjak kejayaan dan kemuliaan. Pilihan Bilal yang selalu berucap "Ahad" tatkala siksa mendera. Atas pilihannya itu, takdirnya beroleh surga firdaus menjadi cerita resmi bagi generasi tabiin - syahdan bunyi terompahnya terdengar oleh Nabi di surga. Layaknya juga pilihan Umar bin Abdul Aziz yang dalam 2,5 tahun masa kepemimpinannya tiada lagi dapat ditemukan orang-orang yang layak disedekahi. Subhanalloh.

Orang Hebat Pandai Bersyukur


Untuk mencapai tujuan kebermaknaan hidup, keterampilan dan kepandaian mensyukuri, baik nikmat maupun musibah, mempunyai porsi khusus dalam laku kehidupan setiap orang. Syukur adalah amal yang terlaksana di balik keikhlasan setiap orang dalam memaknai perolehan (hasil) yang telah diusahakannya serta kejadian yang menimpanya. Amalannya berupa: Pertama, amal kesadaran dan ucapan untuk memuja-muji Rabbi, Sang pemilik hidup dan penggenggam nasib setiap manusia. Kedua, amal komitmen dan perbuatan untuk memaksimalkan sumber daya dan potensi diri. Ketiga, amal perbuatan untuk berbagi dengan sesama - berbagi kesuksesan dan kebahagiaan. Jika syukur adalah pusatnya, maka cabangnya adalah kerendahan hati (tawadlu), kesederhanaan (qana'ah), dan kesungguhan (ijtihad).

Syukur. Inilah salah satu kualitas insani yang paling tinggi, yang sekaligus menandakan kedewasaan seseorang dalam pilihan-pilihan sikapnya. Keterampilan dan kemampuan bersyukur menempati puncak tujuan hidup yakni transendensi diri (spiritual/hidup bermakna). Orang yang pandai bersyukur berarti memiliki kemampuan dalam mengambil jarak (the ability to detach) atas berbagai kejadian: susah-senang, duka-bahagia, nikmat-musibah, sukses-gagal, pujian-makian, dll. Sehingga hati dan pikiran mereka jernih, pertimbangan mereka rasional dan objektif, yang berbuah penyikapan positif atas kejadian-kejadian yang menimpa mereka tersebut.

Orang yang bersyukur membingkai cara pandang mereka terhadap berbagai hal dengan pandangan yang positif dan optimis. Mereka sadar, susah-senang, duka-bahagia, nikmat-musibah, sukses-gagal, pujian-makian adalah kekayaan kehidupan yang sama-sama berguna. Ketika sukses beroleh nikmat, senang dan bahagia temannya. Tatkala gagal dan menerima musibah jangan lupa kita sedang diproduksi jadi dewasa. Karna senang kita tertawa, tapi susah membuat kita semakin giat berusaha. Bahkan, musibah dan kesulitan sering membuka mata hati kita yang kadang tak terketuk oleh kegembiraan dan suka cita. Sementara itu, pujian adalah sumber motivasi. Dan makian adalah palu godam yang membuat sang kepribadian menjadi kuat.

Mereka yang telah sampai pada kesadaran di atas merasakan hidupnya demikian berharga. Hidupnya kian bermakna. Hingga tanpa harus dipaksa meluncurlah ucapan syukur alhamdulillah, puji Alloh atas karunia hikmah di balik setiap nikmat ataupun musibah. Kekuatan hamdalah memancar dalam sikap hidup mereka. Awalnya terbersit dalam hati, terpatri dalam pikiran, terucap dengan lisan, lalu terbiasa, berbuah sikap, dan terbentuklah karakter. "Aha! alhamdulillah, ini menjadikanku semakin kuat dan teruji!" Demikian kira-kira ungkapan mereka ketika menerima kesulitan atau kesusahan. "Alhamdulillah, aku jadi teringat, jarang sekali diri ini bersedekah." Begitu mereka tersadar tatkala menerima musibah, kecurian atau kecopetan, misalnya, dll.

Selain mengambil jarak, syukur menjadikan mereka punya waktu luang untuk mengevaluasi diri. Evaluasi yang berbuah komitmen. Komitmen memperbaharui diri dan melejitkan potensi menjadi prestasi terbaik. Terbaik dalam setiap aktivitas di berbagai peran yang dimainkan. Terbaik menjadi suami atau istri. Terbaik menjadi ayah atau ibu. Terbaik menjadi anak. Terbaik di kantor. Terbaik di kampus. Terbaik di organisasi, dan seterusnya. Motto mereka kira-kira begini: Better is not enough, when the best is expected. Dan inilah bukti syukur yang terlaksana.

Selanjutnya, para ahli syukur menyadari bahwa apa yang mereka peroleh bukan semata-mata kerja individual mereka. Selalu ada peran dan kontribusi orang lain di dalamnya. Ini menjadikan mereka selalu tawadlu atau rendah hati. Sehingga, ketika sukses, ketika beroleh nikmat dan kebahagiaan, tidak lantas menjadikannya sombong dan besar kepala. Bahkan, ada semacam desakan untuk segera membagi kesuksesan dan kebahagiaan itu kepada orang lain.

Berbagi. Orang yang pandai bersyukur tak pernah betah berlama-lama menikmati kesuksesan dan kebahagiaan sendirian. Segera mereka panggil orang-orang yang membutuhkan. Menikmati bersama kesuksesan dan kebahagiaan itu. Cukuplah si ahli syukur dengan itu. Dan ia bersiap-siap kembali menggali potensi, mengejar prestasi dan mimpi-mimpi. Demikian siklus itu terus berputar memproduksi kebahagiaan si ahli syukur setiap saat dalam situasi dan kondisi apapun.

Orang yang pandai bersyukur adalah orang hebat. Mereka memaknai berbagai peristiwa melampaui sekat-sekat egosisme diri yang konon punya keinginan tak terbatas. Mereka pandai bersyukur karena mereka berlatih setiap saat. Mereka selalu membuat daftar pertanyaan, apa yang membuat mereka harus bersyukur hari ini? Hasilnya? Fantastis! Mereka menemukan banyak sekali! Bahkan, termasuk di dalamnya: musibah, kesusahan, kesulitan, kegagalan, dan makian.

Sekarang coba Anda buat daftar serupa! Apa yang membuat Anda harus bersyukur hari ini? Saya yakin Anda akan merasa malu dan kecil sekali di hadapan-Nya seraya berseru segala puji milik Alloh, Rabb alam semesta.

Orang Hebat Menganggap Penting Setiap Orang

Mengapa manusia dikatakan sebagai makhluk sosial? Karena manusia hidup bersama dan saling membutuhkan sesamanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, apakah kebutuhan fisik, emosi, sosial, maupun spiritual. Manusia tidak dapat hidup soliter - menyendiri, dikucilkan, atau mengucilkan diri. Manusia butuh orang lain. Karena esensi kebahagiaan membutuhkan orang lain sebagai tempat curahan cinta, kasih, dan amal. Sehingga penguasaan cara-cara membina hubungan dengan orang lain, pada prinsipnya, akan mengantarkan kita pada puncak-puncak kesuksesan dan kebahagiaan.

Sejumlah penelitian ilmiah membuktikan bahwa jika anda mempelajari cara membina hubungan dengan orang lain, berarti anda sudah menempuh 85% dari perjalanan menuju kesuksesan - terutama dalam bisnis, pekerjaan, atau profesi apapun, dan sekitar 95% dari perjalanan menuju kebahagiaan pribadi. Penelitian lain membuktikan, penyebab 90% orang gagal dalam kehidupan adalah kegagalan dalam membina hubungan baik dengan orang. Maka dari itu, dalam agama Islam ada anjuran untuk melakukan silaturahmi - beserta paparan keuntungannya, antara lain: memperpanjang umur, menambah rizki, memperlancar jodoh, dan lain-lain. Mengapa bisa? Karna silaturahmi esensinya adalah membina hubungan dengan orang lain. Membina hubungan, seperti juga kepemimpinan, ada seninya. Nah, jika kita mampu menguasai seninya, maka tangga-tangga kesuksesan dan kebahagian orang-orang hebat setapak demi setapak akan kita lalui.

Les Giblin dalam The Art of Dealing With People menyederhanakan seni membina hubungan dengan orang lain sebagai cara membina hubungan dengan orang yang akan memberi kita kepuasan pribadi dan, pada saat yang sama, tidak menyakiti ego (konsep diri) orang lain. Menurut Giblin hubungan antar manusia adalah ilmu membina hubungan dengan orang sedemikian sehingga ego kita dan ego mereka tetap utuh. Dan ini merupakan satu-satunya cara untuk berhubungan baik dengan orang yang selalu menghasilkan kesuksesan atau kepuasan sejati.

Apa yang dimaksud dengan ego? Ia adalah sesuatu yang penting di dalam lubuk hati setiap orang dan membutuhkan respek. Setiap manusia merupakan pribadi yang unik dan istimewa, dan dorongan paling kuat dalam diri setiap orang adalah keinginan untuk membela sesuatu yang penting ini dari segala ancaman. Oleh karena itu, kita tidak bisa memperlakukan manusia sebagai mesin, robot, massa, angka-angka, atau "thing," lalu memperlakukan mereka semau kita. Semua upaya yang dilakukan untuk membuat manusia sekedar gerombolan tanpa nilai individu telah gagal. Atas dasar itu, ada empat kecenderungan setiap orang dalam interaksi sosial:

Pertama, setiap orang egois dalam arti lebih "mementingkan diri."
Kedua, setiap orang lebih tertarik pada diri sendiri dari apapun lainnya.
Ketiga, setiap orang ingin merasa dirinya penting dan "mempunyai nilai."
Keempat, setiap orang menginginkan persetujuan dari orang lain, sehingga dia bisa menyetujui dirinya sendiri.

Semua orang ingin dipentingkan. Semua orang ingin dipuji. Semua orang ingin diakui. Mary Kay Ash, pemilik perusahan Mary Kay Cosmetics yang merupakan salah satu dari 500 perusahaan besar dunia versi majalah Fortune, memiliki prinsip yang sangat sederhana dalam membesarkan perusahaannya. Prinsip itu berbunyi: perlakukan orang lain seperti Anda ingin diperlakukan oleh mereka. Prinsip terakhir mamang bukan barang baru, tapi Mary benar-benar konsisten mengamalkannya. Dalam sebuah terbitan jurnal Personal Excellence, Mary pernah menulis bahwa setiap orang membawa kemana-mana tulisan psikologis di dahinya. Tulisan tersebut berbunyi make me feel important (disingkat MMFI). Inilah satu-satunya pendekatan humanistik yang dapat menunjang keberhasilan sebuah perusahaan. Dan Mary Kay Ash membuktikannya.

Dalam bahasan mengenai pola perilaku, respon kita atas MMFI-nya setiap orang dinamakan sebagai perilaku asertif. Perilaku asertif adalah perilaku yang mendasarkan diri pada penghargaan seseorang atas hak-hak pribadinya dan hak-hak pribadi orang lain. Dan hak penting yang dimiliki setiap orang antara lain: hak untuk dihormati, dihargai, diperlakukan secara adil, hak untuk belajar dan berkembang, dst. Orang berperilaku asertif tidak mau harga dirinya dilanggar, demikian pula ia tidak mau melanggar harga diri orang lain, percis dengan prinsip Mary Kay Ash di atas. Orang-orang asertif akan mengungkapkan secara jujur, terus terang, dan sopan: perasaan, pikiran, kehendak dan keinginannya. Demikian sebaliknya, ia akan mendengar dan memahami keinginan orang lain dengan pendengaran dan pemahaman yang empatik.

Mendengarkan empatik berarti kita masuk ke dalam kerangka acuan orang lain. Kita memandang keluar melewati kerangka acuan tersebut. Kita melihat dunia dengan cara mereka melihat dunia. Kita mengerti paradigma mereka. Kita mengerti bagaimana perasaan mereka. Motto orang-orang asertif kira-kira begini: "I am OK, You are OK." Ini berbeda dengan tiga perilaku yang lain. Pertama, perilaku orang-orang yang suka menekan, memaksa, dan semau gue (perilaku agresif). Motto mereka: "I am OK, you are not OK." Kedua, perilaku orang-orang yang memandang rendah diri sendiri, ragu-ragu, dan bingung (perilaku pasif). Motto mereka: "I am not OK, You are OK." Ketiga, perilaku orang-orang yang sering memaksa, menekan, namun di sisi lain, ia membiarkan dirinya diperlakukan sama oleh orang lain (perilaku pasif-agresif). Motto mereka: "I am not OK, You are not OK."

Dengan menerapkan perilaku asertif dan mendengarkan empatik, kita belajar membina hubungan yang lebih baik dengan orang lain. Orang lain merasa dipentingkan, merasa dihargai, dan merasa diutamakan (spesial). Dalam kondisi psikologis seperti ini, orang lain akan lebih mudah mementingkan kita, menghargai kita, dan menjadikan kita spesial. Hubungan sosial kita menjadi indah, istimewa, dan membahagiakan. Dan berkali-kali orang hebat membuktikan: kesuksesan dan kebahagiaan hidupnya bertumpu pada keterampilannya membina hubungan dengan orang lain – dengan keluarganya, koleganya, rekan kerjanya, sahabatnya, masyarakatnya, dan seterusnya.


Orang Hebat Menerima Kesalahan dan Kegagalan


Kesalahan dan kegagalan sering dimaknai sebagai negatifitas dari sebuah proses. Padahal kalau kita tahu, keduanya merupakan keberhasilan dalam wajahnya yang lain. Berkali-kali gagal, berkali-kali salah, dan akhirnya berhasil sesungguhnya berkali-kali orang meraih keberhasilan. Anda boleh bertanya, berapa kali Einstein melakukan kesalahan sebelum menemukan rumus e = mc2 yang mengguncang dunia itu. Demikian juga Thomas Alfa Edison yang termashur memiliki beribu hak paten di Amerika Serikat. Dari sekian ribu patennya, berapa ribu kali kesalahan uji menyertainya. Mereka bukan menghilangkan kesalahan, mereka tidak menafikan kegagalan. Karena salah dan gagal adalah jalan panjangnya kesuksesan. Orang hebat punya itu. Punya eye of mind untuk tidak sekedar memahami kesalahan dan kegagalan sebagai proses yang terpisah dari kesuksesan, melainkan menjadi batu-bata penyusunnya. Orang-orang ini seolah berteriak - seperti teriakan Billi PS Lim - "DARE TO FAIL!"

Sebagai bahan inspirasi, saya tampilkan sejumlah kisah orang hebat yang 'rela' mengakui kesalahan dan kegagalan dalam hidupnya, lalu mengubahnya menjadi prestasi yang luar biasa. Meraka, kata Gede Prama, tidak hanya berhasil membuka gembok psikologis, tetapi juga berhasil memberi warna lain terhadap peradaban manusia.

Soichiro Honda - pendiri dinasti honda yang legendaris - adalah cerita tentang murid miskin yang bercita-cita bisa mendesain piston. Tak terhitung berapa kali dia gagal merancang piston yang baik. Setelah merasa cukup dengan hasil pistonnya, tak terhitung juga berapa puluh kali ia ditolak perusahaan. Lalu berulang kali lagi ia memperbaiki pistonnya sampai akhirnya, setelah bertahun-tahun, perusahaan Toyota menerima rancangannya. Akan tetapi, keadaan perang - yang membuat perekonomian compang-camping - membuat semua mimpinya tenggelam. Tak berhenti mencoba, Soichiro kemudian mendirikan pabrik piston sendiri. Baru saja ada tanda-tanda awal kemajuan, AS membom Jepang dan berantakanlah semuanya. Ia sempat beralih pada bisnis perakitan sepeda motor. Ia menyurati lebih dari 18.000 toko untuk menawarkan produknya. Ada sekitar 5.000 toko yang merespon suratnya. Sukses? Ternyata belum, karena dalam waktu sekejap terjadi over supply dalam produk sepeda motor. Kini namanya berkibar menjadi merek motor dan mobil bermesin bandel di dunia.

Abraham Lincoln, salah seorang presiden AS yang amat dikenang dalam sejarah dunia, memiliki kisah yang sama menariknya. Di umur 22, Lincoln gagal menjadi usahawan. Di umur 23 tidak berhasil menjadi anggota legislatif. Jatuh lagi usahanya di umur 25. Setahun kemudian kekasih yang amat dia cintai meninggal dunia. Disusul kemudian oleh datangnya penyakit depresi mental. Ketika umurnya menginjak angka 34, 37, dan 39, ia kalah lagi berulang-ulang dalam pemilihan menjadi anggota kongres. Tak letih mencoba, ia kemudian mencoba mencalonkan diri menjadi senator di umur 47, kalah lagi dalam pencalonan diri menjadi wakil presiden. Di umur 49, gagal lagi duduk di kursi senator. Namun, di umurnya yang ke 52, ia dipilih menjadi presiden AS yang kemudian dikenang sepanjang masa sebagai pemimpin legendaris.

Warner von Barun dikenal sebagai penemu roket. Suatu hari, ia dipanggil sang bos. Ditanya tentang berapa kesalahan yang sudah ia lakukan. Dengan nada tegas ia menyebut angka 65.121 kali. Ditanya lagi, perlu berapa kesalahan lagi agar roketnya bisa terbang. Ia menyebut angka 5.000 kali lagi! Tidak mau kalah, Walt Disney, proyek kebanggaan dunia itu, harus runtuh sebanyak 302 kali sebelum berjaya hingga saat ini. Disney sendiri, di kemudian hari, mengabadikan proses dirinya itu dalam seuntai kalimat If you can dream it, you can do it.

Apa yang Anda peroleh dari membaca kisah mereka? Meraka berkali-kali gagal. Mereka berulang kali melakukan kesalahan. Tapi, mereka tetap mencoba. Inilah pengakuan paling jujur orang-orang yang melakukan kesalahan. Bukan pengakuan verbal, melainkan kemauan untuk terus mencoba dan memperbaiki. Dan orang hebat memilih jalan itu.

Sabtu, November 08, 2008

Orang Hebat Menciptakan Surga di Dunia

Pergumulan pemikiran orang mengenai surga-neraka sudah terjadi sejak dulu kala. Hampir semua orang dari yang paling sholeh hingga yang paling salah menjadikan dua alam beda isi itu sebagai parameter keberhasilan dan kesuksesan amal di dunia. Paling tidak pernyataannya begini: amal sholeh diganjar masuk surga dan amal salah diganjar masuk neraka. Sejak itu, surga hampir menjadi idealita setiap orang. Karena di sana segalanya indah. Dalam al-Quran ia digambarkan laksana tempat yang dialiri sungai-sungai nan jernih menawan dan manusia hidup di dalamnya untuk selamanya, tajri min tahtihal anhaar khaalidiina fiha abadan. Umat Hindu menyebutnya Nirwana. Orang Kristen menyebutnya sebagai tempat kembalinya "domba-domba" yang tersesat, dan seterusnya. Kitab-kitab klasik mengkiaskan keindahan surga sebagai tak berhingga kali keindahan yang terindah. Semua orang, tak peduli ia baik atau bejat, sholeh atau salah, ingin masuk surga. Semua orang berharap meraih surga. Tapi sayang surga salalu membatasi diri untuk orang-orang yang tidak biasa, tapi luar biasa!

Dalam sebuah hadits, Rasul Muhammad SAW pernah berujar, ad-dunya mazro'atun lil akhiroh, dunia adalah tempat bercocok tanam bagi akhirat. Tafsirnya kira-kira begini: kalau yang kita tanam di dunia tanaman yang baik dan berkualitas unggul, maka di akhirat kita pun akan menuai hasil yang baik dan memuaskan hati, demikian juga sebaliknya. Menanam sendiri dalam cakupannya yang komprehensif meliputi rencana, cara (proses), pelaksanaan - dari niat sampai tindakan, from mission to action. Sementara menuai kebaikan di akhirat dapat dipadankan sebagai beroleh surga yang kekal abadi, tentuntunya atas ridho Alloh Sang Pencipta. Jadi kehidupan dunia tidak terlepas apalagi terpisah dari kehidupan akhirat. Demikian juga, surga tidak lagi hanya ada di akhirat, melainkan juga (dapat dihadirkan) di dunia fana ini. Ini berarti setiap orang (seharusnya) dapat mengalami dua kali masuk surga. Pertama, (memilih) masuk surga dunia dan kedua, masuk surga akhirat.
Orang hebat memilih untuk menghadirkan surga di dunia. Atas pilihan ini, orang hebat akan beroleh tiket masuk ke surga yang kedua. Bagaimana caranya? Caranya sederhana: asal posisi hati kita benar, posisi niat kita benar, posisi azzam kita benar, dan posisi aksi kita benar. Teman, dunia adalah ruang interaksi yang didasarkan pada kebutuhan. Ada paling kurang tiga model motif sosial - yang menghubungkan interaksi dan pemenuhan kebutuhan, yakni: Need of Affiliation (kebutuhan akan kebersamaan dan persahabatan), Need of Power (kebutuhan akan kekuasaan), dan Need of Achievement (kebutuhan akan prestasi).

Need of Affiliation akan menghadirkan kecenderungan sebagai berikut: minat akan terjalinnya persahabatan, khawatir akan putusnya persahabatan, suka bekerja sama / gotong royong, toleransi, meminta persetujuan, bangga diterima masuk kelompok, bekerja dengan orang lain (team work), risih hidup menyendiri, setia pada kelompok.
Need of Power akan menghadirkan kecenderungan sebagai berikut: menunjukkan minat pada kekuasaan, mempengaruhi orang, mengendalikan orang lain, peka kepada struktur kelompok, membantu orang lain meski tidak diminta, berbuat sesuatu yang menimbulkan perasaan kuat, suka mengatur, disiplin tinggi, ingin dihormati, diakui, dan dihargai, perasaannya mudah tersentuh, berpendirian teguh, peka terhadap interpersonal.
Sementara Need of Achievement menghadirkan kecenderungan: suka berkompetisi, ingin dapat lebih banyak, puas pada keunggulan, menyibukkan diri dalam kegiatan pribadi, peka terhadap masalah, melibatkan diri dalam pembicaraan penting, berfikir ke depan, berani mengambil resiko, rasa tanggung jawab besar, tekad kuat terhadap keinginan pribadi, terbuka dan sportif, mengatasi masalah dengan unik.

Itulah motif sosial dalam ruang interaksi kita sehari-hari. Sebagian besar - kalau tidak semuanya - merupakan respon alami kita atas berbagai macam kebutuhan. Tinggal bagaimana kita memosisikan diri untuk memilih respon yang tepat atas berbagai pilihan tindakan. Dan di sana surga - neraka terpampang nyata sebagai sebuah pilihan. Di rumah, di jalan, di pasar, di kampus, di kantor, di tempat hiburan, bahkan di tempat-tempat ibadah selalu menyediakan pojok-pojok atau ruang-ruang bagi surga dan neraka, sama banyaknya, sama peluangnya. Demikian juga dalam hubungan kerja sama, dalam hubungan profesional, dalam pertemanan, dalam permainan, dalam perlombaan, dalam persaingan, bahkan dalam ritual keagamaan di sana selalu ada ruang peluang bagi surga dan neraka dalam porsi yang sama.

Kita mungkin pernah melihat atau mengalami sendiri perasaan tertekan, dimaki, dicaci, dituduh, dihina, disuruh-suruh, dikhianati, dan bentuk-bentuk tekanan lain - fisik maupun emosi - yang membuat hidup jenuh, jengah, stres, dan membosankan. Atau kita mungkin pernah pada posisi yang menekan orang lain, menuduh orang lain, menghina orang lain, mengkhianati orang lain dan seterusnya. Tidakkah kita sadar, kita telah menciptakan neraka dunia dalam diri kita dan diri-diri di luar sana. Kenapa kita tidak memilih cara sebaliknya - cara-cara surgawi yang membuat kita dan orang lain nyaman, aman, tenteram, merasa dihargai, dan terberdaya?
Mengapa seorang bos harus berteriak keras kepada bawahannya kalau permintaan lembut dibarengi teladan lebih efektif dalam memimpin perusahaan? Mengapa harus menghujat, memfitnah, iri, dengki, hasad, hasud kalau yang kita terima serupa dengan yang kita lakukan itu? Lalu mengapa harus pula membenci dan dendam - bahkan kepada orang-orang yang membenci dan dendam kepada kita - kalau kita tahu itu tidak mengobati hati yang luka? Mengapa juga harus berbohong kalau kejujuran lebih mendamainkan hati? Teman, surga lebih sering dapat kita hadirkan asal kita dapat menahan emosi dan egoisme diri.

Gede Prama mengajarkan kita untuk berkaca pada kehidupan setiap bayi mungil. Jiwanya begitu bersih tanpa prasangka (non judgemental). Selalu ingin gembira dan tanpa ia sadari menggembirakan orang-orang disekitarnya. Bersama seorang bayi kita tidak berharap banyak. Sehat, senyum, dan memanggil papa saja sudah cukup. Akan tetapi, dari kehidupan kita memiliki harapan yang tidak terbatas. Harapan terakhir ini seperti langit. Jauh, tanpa batas, dan tak berujung. Sehingga, bila dicari kemana pun dan sampai kapan pun, ia tetap tidak ketemu.
Bersama bayi kita mudah sekali menjadi manusia pemaaf. Namun, begitu berhadapan dengan kehidupan, betapa susahnya memaklumi kesalahan yang kita lakukan maupun dilakukan oleh orang lain. Betapa susahnya memaafkan orang yang membenci dan mengkhianati kita. Selanjutnya, bersama bayi, respon alami kita sebagai manusia mudah sekali muncul. Bila ia tersenyum, tersenyumlah kita. Bila ia menangis, kita akan mencari cara agar ia kembali tersenyum. Hanya saja, dengan kehidupan, tidak sedikit manusia yang kehilangan respon alaminya. Sudah memiliki rumah mewah, naik mercedes, main golf tetapi tetap saja memaksa lebih dan lebih, bahkan dengan cara-cara yang tidak benar. Terakhir, bersama bayi, manusia manapun sangat mudah menerapkan kebiasaan menyayangi. Tetapi, dengan kehidupan betapa sedikit orang yang menyayangi kehidupannya, menyayangi orang-orang di sekitarnya. Dengan memfitnah, iri, dengki, menuduh, dsj mereka tentu saja tidak menyayangi kehidupan ini.

Itulah surga dunia. Yang dapat kita hadirkan dengan cara memosisikan dengan benar hati kita, niat kita, cara pandang kita, azzam kita, dan tindakan kita. Yakni pada posisi kebermaknaan hidup. Dan, orang hebat memilih untuk hidup bermakna - merasakan surga pertama sebelum mengenyam surga sejati di akhirat nanti.

Minggu, November 02, 2008

Orang Hebat Menciptakan Surga di Dunia


Pergumulan pemikiran orang mengenai surga-neraka sudah terjadi sejak dulu kala. Hampir semua orang dari yang paling sholeh hingga yang paling salah menjadikan dua alam beda isi itu sebagai parameter keberhasilan dan kesuksesan amal di dunia. Paling tidak pernyataannya begini: amal sholeh diganjar masuk surga dan amal salah diganjar masuk neraka. Sejak itu, surga hampir menjadi idealita setiap orang. Karena di sana segalanya indah. Dalam al-Quran ia digambarkan laksana tempat yang dialiri sungai-sungai nan jernih menawan dan manusia hidup di dalamnya untuk selamanya, tajri min tahtihal anhaar khaalidiina fiha abadan. Umat Hindu menyebutnya Nirwana. Orang Kristen menyebutnya sebagai tempat kembalinya "domba-domba" yang tersesat, dan seterusnya. Kitab-kitab klasik mengkiaskan keindahan surga sebagai tak berhingga kali keindahan yang terindah. Semua orang, tak peduli ia baik atau bejat, sholeh atau salah, ingin masuk surga. Semua orang berharap meraih surga. Tapi sayang surga salalu membatasi diri untuk orang-orang yang tidak biasa, tapi luar biasa!

Dalam sebuah hadits, Rasul Muhammad SAW pernah berujar, ad-dunya mazro'atun lil akhiroh, dunia adalah tempat bercocok tanam bagi akhirat. Tafsirnya kira-kira begini: kalau yang kita tanam di dunia tanaman yang baik dan berkualitas unggul, maka di akhirat kita pun akan menuai hasil yang baik dan memuaskan hati, demikian juga sebaliknya. Menanam sendiri dalam cakupannya yang komprehensif meliputi rencana, cara (proses), pelaksanaan - dari niat sampai tindakan, from mission to action. Sementara menuai kebaikan di akhirat dapat dipadankan sebagai beroleh surga yang kekal abadi, tentuntunya atas ridho Alloh Sang Pencipta. Jadi kehidupan dunia tidak terlepas apalagi terpisah dari kehidupan akhirat. Demikian juga, surga tidak lagi hanya ada di akhirat, melainkan juga (dapat dihadirkan) di dunia fana ini. Ini berarti setiap orang (seharusnya) dapat mengalami dua kali masuk surga. Pertama, (memilih) masuk surga dunia dan kedua, masuk surga akhirat.

Orang hebat memilih untuk menghadirkan surga di dunia. Atas pilihan ini, orang hebat akan beroleh tiket masuk ke surga yang kedua. Bagaimana caranya? Caranya sederhana: asal posisi hati kita benar, posisi niat kita benar, posisi azzam kita benar, dan posisi aksi kita benar. Teman, dunia adalah ruang interaksi yang didasarkan pada kebutuhan. Ada paling kurang tiga model motif sosial - yang menghubungkan interaksi dan pemenuhan kebutuhan, yakni: Need of Affiliation (kebutuhan akan kebersamaan dan persahabatan), Need of Power (kebutuhan akan kekuasaan), dan Need of Achievement (kebutuhan akan prestasi).

Need of Affiliation akan menghadirkan kecenderungan sebagai berikut: minat akan terjalinnya persahabatan, khawatir akan putusnya persahabatan, suka bekerja sama / gotong royong, toleransi, meminta persetujuan, bangga diterima masuk kelompok, bekerja dengan orang lain (team work), risih hidup menyendiri, setia pada kelompok.

Need of Power akan menghadirkan kecenderungan sebagai berikut: menunjukkan minat pada kekuasaan, mempengaruhi orang, mengendalikan orang lain, peka kepada struktur kelompok, membantu orang lain meski tidak diminta, berbuat sesuatu yang menimbulkan perasaan kuat, suka mengatur, disiplin tinggi, ingin dihormati, diakui, dan dihargai, perasaannya mudah tersentuh, berpendirian teguh, peka terhadap interpersonal.

Sementara Need of Achievement menghadirkan kecenderungan: suka berkompetisi, ingin dapat lebih banyak, puas pada keunggulan, menyibukkan diri dalam kegiatan pribadi, peka terhadap masalah, melibatkan diri dalam pembicaraan penting, berfikir ke depan, berani mengambil resiko, rasa tanggung jawab besar, tekad kuat terhadap keinginan pribadi, terbuka dan sportif, mengatasi masalah dengan unik.

Itulah motif sosial dalam ruang interaksi kita sehari-hari. Sebagian besar - kalau tidak semuanya - merupakan respon alami kita atas berbagai macam kebutuhan. Tinggal bagaimana kita memosisikan diri untuk memilih respon yang tepat atas berbagai pilihan tindakan. Dan di sana surga - neraka terpampang nyata sebagai sebuah pilihan. Di rumah, di jalan, di pasar, di kampus, di kantor, di tempat hiburan, bahkan di tempat-tempat ibadah selalu menyediakan pojok-pojok atau ruang-ruang bagi surga dan neraka, sama banyaknya, sama peluangnya. Demikian juga dalam hubungan kerja sama, dalam hubungan profesional, dalam pertemanan, dalam permainan, dalam perlombaan, dalam persaingan, bahkan dalam ritual keagamaan di sana selalu ada ruang peluang bagi surga dan neraka dalam porsi yang sama.

Kita mungkin pernah melihat atau mengalami sendiri perasaan tertekan, dimaki, dicaci, dituduh, dihina, disuruh-suruh, dikhianati, dan bentuk-bentuk tekanan lain - fisik maupun emosi - yang membuat hidup jenuh, jengah, stres, dan membosankan. Atau kita mungkin pernah pada posisi yang menekan orang lain, menuduh orang lain, menghina orang lain, mengkhianati orang lain dan seterusnya. Tidakkah kita sadar, kita telah menciptakan neraka dunia dalam diri kita dan diri-diri di luar sana. Kenapa kita tidak memilih cara sebaliknya - cara-cara surgawi yang membuat kita dan orang lain nyaman, aman, tenteram, merasa dihargai, dan terberdaya?

Mengapa seorang bos harus berteriak keras kepada bawahannya kalau permintaan lembut dibarengi teladan lebih efektif dalam memimpin perusahaan? Mengapa harus menghujat, memfitnah, iri, dengki, hasad, hasud kalau yang kita terima serupa dengan yang kita lakukan itu? Lalu mengapa harus pula membenci dan dendam - bahkan kepada orang-orang yang membenci dan dendam kepada kita - kalau kita tahu itu tidak mengobati hati yang luka? Mengapa juga harus berbohong kalau kejujuran lebih mendamainkan hati? Teman, surga lebih sering dapat kita hadirkan asal kita dapat menahan emosi dan egoisme diri.

Gede Prama mengajarkan kita untuk berkaca pada kehidupan setiap bayi mungil. Jiwanya begitu bersih tanpa prasangka (non judgemental). Selalu ingin gembira dan tanpa ia sadari menggembirakan orang-orang disekitarnya. Bersama seorang bayi kita tidak berharap banyak. Sehat, senyum, dan memanggil papa saja sudah cukup. Akan tetapi, dari kehidupan kita memiliki harapan yang tidak terbatas. Harapan terakhir ini seperti langit. Jauh, tanpa batas, dan tak berujung. Sehingga, bila dicari kemana pun dan sampai kapan pun, ia tetap tidak ketemu.

Bersama bayi kita mudah sekali menjadi manusia pemaaf. Namun, begitu berhadapan dengan kehidupan, betapa susahnya memaklumi kesalahan yang kita lakukan maupun dilakukan oleh orang lain. Betapa susahnya memaafkan orang yang membenci dan mengkhianati kita. Selanjutnya, bersama bayi, respon alami kita sebagai manusia mudah sekali muncul. Bila ia tersenyum, tersenyumlah kita. Bila ia menangis, kita akan mencari cara agar ia kembali tersenyum. Hanya saja, dengan kehidupan, tidak sedikit manusia yang kehilangan respon alaminya. Sudah memiliki rumah mewah, naik mercedes, main golf tetapi tetap saja memaksa lebih dan lebih, bahkan dengan cara-cara yang tidak benar. Terakhir, bersama bayi, manusia manapun sangat mudah menerapkan kebiasaan menyayangi. Tetapi, dengan kehidupan betapa sedikit orang yang menyayangi kehidupannya, menyayangi orang-orang di sekitarnya. Dengan memfitnah, iri, dengki, menuduh, dsj mereka tentu saja tidak menyayangi kehidupan ini.

Itulah surga dunia. Yang dapat kita hadirkan dengan cara memosisikan dengan benar hati kita, niat kita, cara pandang kita, azzam kita, dan tindakan kita. Yakni pada posisi kebermaknaan hidup. Dan, orang hebat memilih untuk hidup bermakna - merasakan surga pertama sebelum mengenyam surga sejati di akhirat nanti.

Orang Hebat Memiliki Ketajaman Spiritual


Spiritual oleh orang kebanyakan sering dikaitkan dengan agama. Aksentuasi yang paling tepat dari istilah ini sesungguhnya terkait dengan aspek pemaknaan atas segala sesuatu. Sehingga apapun agamanya, pemaknaan selalu dapat muncul atau dimunculkan sebagai sebuah spirit kehidupan. Meskipun kalau kita kaji lebih dalam, pemaknaan tertinggi akan selalu menempatkan Sang Causa Prima, pada puncaknya. Dan untuk itu beribadah (dalam arti ritual) menjadi bagian dari kebutuhan spiritual.

Spiritual. Inilah puncak tertinggi capaian pemenuhan kebutuhan manusia. Stephen R. Covey menengarai empat kebutuhan berdasarkan tingkatannya: to life (hidup), to love (mencinta/bersosial), to learn (belajar), dan puncak tertinggi to leave a legacy (bermakna/spiritual). Jauh sebelum Covey, Abraham Maslow membuat hirarki kebutuhan manusia. Dimulai dari dasar: kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan untuk mencinta, kebutuhan akan penghargaan, dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Di buku diktat, itulah lima tingkatan kebutuhan Maslow. Namun menjelang ajalnya menjemput, tidak banyak orang yang tahu kalau dia menambahkan satu tingkat tertinggi, yakni kebutuhan transendensi (kebutuhan spiritual).

Baik Maslow maupun Covey sadar betul menempatkan Spiritual sebagai puncak kebutuhan. Karna spiritual terkait dengan aspek-aspek pemaknaan, hidup bertujuan, berintegritas dan memiliki sumbangan/warisan (hidup bermanfaat). Ia tidak lagi hanya berkutat pada diri, tapi sekaligus pada diri-diri di luar sana, pada kemanusiaan universal, dan pada peradaban. Sangat jelas dalam Hirarki Maslow, lima kebutuhan sebelumnya berorientasi pada diri, sementara Transendensi melepaskan semua atribut diri untuk masuk pada atribut-atribut pengabdian, pengorbanan, dan sumbangan.

Dalam bahasan tentang Spiritual Intelligence (Spiritual Quotient, SQ), bahkan oleh pencetusnya pertama kali, Danah Zohar dan Ian Marshall, (Kecerdasan) Spiritual disebut sebagai The Ultimate Intelligence. Apa dasarnya? "SQ is the necessary foundation for the effective functioning of both IQ and EQ," ungkap Danah Zohar dan Ian Marshall dalam bukunya itu. Berbeda dengan IQ (kemampuan untuk belajar dan mencipta) dan EQ (kemampuan bersosial) yang lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan fisik dan emosional, SQ memenuhi kebutuhan jiwa (soul). Jika IQ bersandarkan pada nalar, rasio, intelektual, sementara EQ pada emosi, maka hakikat sejati SQ disandarkan pada the soul's intelligence. Ia membangkitkan pusat dari kesadaran setiap insan. Pusat penentu pilihan baik atau buruk - benar atau salah, HATI.

Karena itu, mengutip Sukidi dalam New Age, Wisata Spiritual Lintas Agama (2001), pekik SQ adalah suara hati (conscience). Suara yang paling jernih dalam hiruk pikuk kehidupan kita, yang tidak bisa ditipu oleh siapapun, termasuk diri kita sendiri. Kebenaran sejati terletak pada conscience ini. Karena itu SQ menyingkap kebenaran sejati yang lebih sering tersembunyi (hidden truth) di tengah adegan-adegan hidup yang serba palsu dan menipu. Kodrat SQ adalah fitrah yang selalu dalam kondisi - istilah penganut filsafat eksistensialisme - "the peace of the all sufficient." Inilah kiranya yang disebut sebagai nafsu al muthmainnah. Jiwa yang damai dan tenang, yang bisa menjalin kontak spiritual dengan Ilahi Rabbi. Hingga Alloh bersenandung indah kepadanya: "ya ayyatuhan nafsul mutmainnah. irji'i ila rabbiki raadhiyatan mardiyyah. fadkhuli fi 'ibadii wadkhulii jannatii (al-Fajr: 27-30).

Selanjutnya ekspresi SQ itu dipantulkan dalam etika sosial. Bersumber pada kesadaran hati. Mengikat makna kejadian-kejadian setiap hari. Lalu tergerak untuk berkontribusi. Membuat dan meninggalkan warisan kepada makhluk di bumi. Inilah puncak kesadaran diri. Kesadaran untuk menebar makna sepanjang masa melampaui batas usia yang ditentukan-Nya. Dan orang hebat punya kesadaran itu. Kesadaran untuk mempertajam mata spiritualnya (eye of the heart).