Dalam sebuah hadits, Rasul Muhammad SAW pernah berujar, ad-dunya mazro'atun lil akhiroh, dunia adalah tempat bercocok tanam bagi akhirat. Tafsirnya kira-kira begini: kalau yang kita tanam di dunia tanaman yang baik dan berkualitas unggul, maka di akhirat kita pun akan menuai hasil yang baik dan memuaskan hati, demikian juga sebaliknya. Menanam sendiri dalam cakupannya yang komprehensif meliputi rencana, cara (proses), pelaksanaan - dari niat sampai tindakan, from mission to action. Sementara menuai kebaikan di akhirat dapat dipadankan sebagai beroleh surga yang kekal abadi, tentuntunya atas ridho Alloh Sang Pencipta. Jadi kehidupan dunia tidak terlepas apalagi terpisah dari kehidupan akhirat. Demikian juga, surga tidak lagi hanya ada di akhirat, melainkan juga (dapat dihadirkan) di dunia fana ini. Ini berarti setiap orang (seharusnya) dapat mengalami dua kali masuk surga. Pertama, (memilih) masuk surga dunia dan kedua, masuk surga akhirat.
Orang hebat memilih untuk menghadirkan surga di dunia. Atas pilihan ini, orang hebat akan beroleh tiket masuk ke surga yang kedua. Bagaimana caranya? Caranya sederhana: asal posisi hati kita benar, posisi niat kita benar, posisi azzam kita benar, dan posisi aksi kita benar. Teman, dunia adalah ruang interaksi yang didasarkan pada kebutuhan. Ada paling kurang tiga model motif sosial - yang menghubungkan interaksi dan pemenuhan kebutuhan, yakni: Need of Affiliation (kebutuhan akan kebersamaan dan persahabatan), Need of Power (kebutuhan akan kekuasaan), dan Need of Achievement (kebutuhan akan prestasi).
Need of Affiliation akan menghadirkan kecenderungan sebagai berikut: minat akan terjalinnya persahabatan, khawatir akan putusnya persahabatan, suka bekerja sama / gotong royong, toleransi, meminta persetujuan, bangga diterima masuk kelompok, bekerja dengan orang lain (team work), risih hidup menyendiri, setia pada kelompok.
Need of Power akan menghadirkan kecenderungan sebagai berikut: menunjukkan minat pada kekuasaan, mempengaruhi orang, mengendalikan orang lain, peka kepada struktur kelompok, membantu orang lain meski tidak diminta, berbuat sesuatu yang menimbulkan perasaan kuat, suka mengatur, disiplin tinggi, ingin dihormati, diakui, dan dihargai, perasaannya mudah tersentuh, berpendirian teguh, peka terhadap interpersonal.
Sementara Need of Achievement menghadirkan kecenderungan: suka berkompetisi, ingin dapat lebih banyak, puas pada keunggulan, menyibukkan diri dalam kegiatan pribadi, peka terhadap masalah, melibatkan diri dalam pembicaraan penting, berfikir ke depan, berani mengambil resiko, rasa tanggung jawab besar, tekad kuat terhadap keinginan pribadi, terbuka dan sportif, mengatasi masalah dengan unik.
Itulah motif sosial dalam ruang interaksi kita sehari-hari. Sebagian besar - kalau tidak semuanya - merupakan respon alami kita atas berbagai macam kebutuhan. Tinggal bagaimana kita memosisikan diri untuk memilih respon yang tepat atas berbagai pilihan tindakan. Dan di sana surga - neraka terpampang nyata sebagai sebuah pilihan. Di rumah, di jalan, di pasar, di kampus, di kantor, di tempat hiburan, bahkan di tempat-tempat ibadah selalu menyediakan pojok-pojok atau ruang-ruang bagi surga dan neraka, sama banyaknya, sama peluangnya. Demikian juga dalam hubungan kerja sama, dalam hubungan profesional, dalam pertemanan, dalam permainan, dalam perlombaan, dalam persaingan, bahkan dalam ritual keagamaan di sana selalu ada ruang peluang bagi surga dan neraka dalam porsi yang sama.
Kita mungkin pernah melihat atau mengalami sendiri perasaan tertekan, dimaki, dicaci, dituduh, dihina, disuruh-suruh, dikhianati, dan bentuk-bentuk tekanan lain - fisik maupun emosi - yang membuat hidup jenuh, jengah, stres, dan membosankan. Atau kita mungkin pernah pada posisi yang menekan orang lain, menuduh orang lain, menghina orang lain, mengkhianati orang lain dan seterusnya. Tidakkah kita sadar, kita telah menciptakan neraka dunia dalam diri kita dan diri-diri di luar sana. Kenapa kita tidak memilih cara sebaliknya - cara-cara surgawi yang membuat kita dan orang lain nyaman, aman, tenteram, merasa dihargai, dan terberdaya?
Mengapa seorang bos harus berteriak keras kepada bawahannya kalau permintaan lembut dibarengi teladan lebih efektif dalam memimpin perusahaan? Mengapa harus menghujat, memfitnah, iri, dengki, hasad, hasud kalau yang kita terima serupa dengan yang kita lakukan itu? Lalu mengapa harus pula membenci dan dendam - bahkan kepada orang-orang yang membenci dan dendam kepada kita - kalau kita tahu itu tidak mengobati hati yang luka? Mengapa juga harus berbohong kalau kejujuran lebih mendamainkan hati? Teman, surga lebih sering dapat kita hadirkan asal kita dapat menahan emosi dan egoisme diri.
Gede Prama mengajarkan kita untuk berkaca pada kehidupan setiap bayi mungil. Jiwanya begitu bersih tanpa prasangka (non judgemental). Selalu ingin gembira dan tanpa ia sadari menggembirakan orang-orang disekitarnya. Bersama seorang bayi kita tidak berharap banyak. Sehat, senyum, dan memanggil papa saja sudah cukup. Akan tetapi, dari kehidupan kita memiliki harapan yang tidak terbatas. Harapan terakhir ini seperti langit. Jauh, tanpa batas, dan tak berujung. Sehingga, bila dicari kemana pun dan sampai kapan pun, ia tetap tidak ketemu.
Bersama bayi kita mudah sekali menjadi manusia pemaaf. Namun, begitu berhadapan dengan kehidupan, betapa susahnya memaklumi kesalahan yang kita lakukan maupun dilakukan oleh orang lain. Betapa susahnya memaafkan orang yang membenci dan mengkhianati kita. Selanjutnya, bersama bayi, respon alami kita sebagai manusia mudah sekali muncul. Bila ia tersenyum, tersenyumlah kita. Bila ia menangis, kita akan mencari cara agar ia kembali tersenyum. Hanya saja, dengan kehidupan, tidak sedikit manusia yang kehilangan respon alaminya. Sudah memiliki rumah mewah, naik mercedes, main golf tetapi tetap saja memaksa lebih dan lebih, bahkan dengan cara-cara yang tidak benar. Terakhir, bersama bayi, manusia manapun sangat mudah menerapkan kebiasaan menyayangi. Tetapi, dengan kehidupan betapa sedikit orang yang menyayangi kehidupannya, menyayangi orang-orang di sekitarnya. Dengan memfitnah, iri, dengki, menuduh, dsj mereka tentu saja tidak menyayangi kehidupan ini.
Itulah surga dunia. Yang dapat kita hadirkan dengan cara memosisikan dengan benar hati kita, niat kita, cara pandang kita, azzam kita, dan tindakan kita. Yakni pada posisi kebermaknaan hidup. Dan, orang hebat memilih untuk hidup bermakna - merasakan surga pertama sebelum mengenyam surga sejati di akhirat nanti.