Senin, November 10, 2008

Orang Hebat Menganggap Penting Setiap Orang

Mengapa manusia dikatakan sebagai makhluk sosial? Karena manusia hidup bersama dan saling membutuhkan sesamanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, apakah kebutuhan fisik, emosi, sosial, maupun spiritual. Manusia tidak dapat hidup soliter - menyendiri, dikucilkan, atau mengucilkan diri. Manusia butuh orang lain. Karena esensi kebahagiaan membutuhkan orang lain sebagai tempat curahan cinta, kasih, dan amal. Sehingga penguasaan cara-cara membina hubungan dengan orang lain, pada prinsipnya, akan mengantarkan kita pada puncak-puncak kesuksesan dan kebahagiaan.

Sejumlah penelitian ilmiah membuktikan bahwa jika anda mempelajari cara membina hubungan dengan orang lain, berarti anda sudah menempuh 85% dari perjalanan menuju kesuksesan - terutama dalam bisnis, pekerjaan, atau profesi apapun, dan sekitar 95% dari perjalanan menuju kebahagiaan pribadi. Penelitian lain membuktikan, penyebab 90% orang gagal dalam kehidupan adalah kegagalan dalam membina hubungan baik dengan orang. Maka dari itu, dalam agama Islam ada anjuran untuk melakukan silaturahmi - beserta paparan keuntungannya, antara lain: memperpanjang umur, menambah rizki, memperlancar jodoh, dan lain-lain. Mengapa bisa? Karna silaturahmi esensinya adalah membina hubungan dengan orang lain. Membina hubungan, seperti juga kepemimpinan, ada seninya. Nah, jika kita mampu menguasai seninya, maka tangga-tangga kesuksesan dan kebahagian orang-orang hebat setapak demi setapak akan kita lalui.

Les Giblin dalam The Art of Dealing With People menyederhanakan seni membina hubungan dengan orang lain sebagai cara membina hubungan dengan orang yang akan memberi kita kepuasan pribadi dan, pada saat yang sama, tidak menyakiti ego (konsep diri) orang lain. Menurut Giblin hubungan antar manusia adalah ilmu membina hubungan dengan orang sedemikian sehingga ego kita dan ego mereka tetap utuh. Dan ini merupakan satu-satunya cara untuk berhubungan baik dengan orang yang selalu menghasilkan kesuksesan atau kepuasan sejati.

Apa yang dimaksud dengan ego? Ia adalah sesuatu yang penting di dalam lubuk hati setiap orang dan membutuhkan respek. Setiap manusia merupakan pribadi yang unik dan istimewa, dan dorongan paling kuat dalam diri setiap orang adalah keinginan untuk membela sesuatu yang penting ini dari segala ancaman. Oleh karena itu, kita tidak bisa memperlakukan manusia sebagai mesin, robot, massa, angka-angka, atau "thing," lalu memperlakukan mereka semau kita. Semua upaya yang dilakukan untuk membuat manusia sekedar gerombolan tanpa nilai individu telah gagal. Atas dasar itu, ada empat kecenderungan setiap orang dalam interaksi sosial:

Pertama, setiap orang egois dalam arti lebih "mementingkan diri."
Kedua, setiap orang lebih tertarik pada diri sendiri dari apapun lainnya.
Ketiga, setiap orang ingin merasa dirinya penting dan "mempunyai nilai."
Keempat, setiap orang menginginkan persetujuan dari orang lain, sehingga dia bisa menyetujui dirinya sendiri.

Semua orang ingin dipentingkan. Semua orang ingin dipuji. Semua orang ingin diakui. Mary Kay Ash, pemilik perusahan Mary Kay Cosmetics yang merupakan salah satu dari 500 perusahaan besar dunia versi majalah Fortune, memiliki prinsip yang sangat sederhana dalam membesarkan perusahaannya. Prinsip itu berbunyi: perlakukan orang lain seperti Anda ingin diperlakukan oleh mereka. Prinsip terakhir mamang bukan barang baru, tapi Mary benar-benar konsisten mengamalkannya. Dalam sebuah terbitan jurnal Personal Excellence, Mary pernah menulis bahwa setiap orang membawa kemana-mana tulisan psikologis di dahinya. Tulisan tersebut berbunyi make me feel important (disingkat MMFI). Inilah satu-satunya pendekatan humanistik yang dapat menunjang keberhasilan sebuah perusahaan. Dan Mary Kay Ash membuktikannya.

Dalam bahasan mengenai pola perilaku, respon kita atas MMFI-nya setiap orang dinamakan sebagai perilaku asertif. Perilaku asertif adalah perilaku yang mendasarkan diri pada penghargaan seseorang atas hak-hak pribadinya dan hak-hak pribadi orang lain. Dan hak penting yang dimiliki setiap orang antara lain: hak untuk dihormati, dihargai, diperlakukan secara adil, hak untuk belajar dan berkembang, dst. Orang berperilaku asertif tidak mau harga dirinya dilanggar, demikian pula ia tidak mau melanggar harga diri orang lain, percis dengan prinsip Mary Kay Ash di atas. Orang-orang asertif akan mengungkapkan secara jujur, terus terang, dan sopan: perasaan, pikiran, kehendak dan keinginannya. Demikian sebaliknya, ia akan mendengar dan memahami keinginan orang lain dengan pendengaran dan pemahaman yang empatik.

Mendengarkan empatik berarti kita masuk ke dalam kerangka acuan orang lain. Kita memandang keluar melewati kerangka acuan tersebut. Kita melihat dunia dengan cara mereka melihat dunia. Kita mengerti paradigma mereka. Kita mengerti bagaimana perasaan mereka. Motto orang-orang asertif kira-kira begini: "I am OK, You are OK." Ini berbeda dengan tiga perilaku yang lain. Pertama, perilaku orang-orang yang suka menekan, memaksa, dan semau gue (perilaku agresif). Motto mereka: "I am OK, you are not OK." Kedua, perilaku orang-orang yang memandang rendah diri sendiri, ragu-ragu, dan bingung (perilaku pasif). Motto mereka: "I am not OK, You are OK." Ketiga, perilaku orang-orang yang sering memaksa, menekan, namun di sisi lain, ia membiarkan dirinya diperlakukan sama oleh orang lain (perilaku pasif-agresif). Motto mereka: "I am not OK, You are not OK."

Dengan menerapkan perilaku asertif dan mendengarkan empatik, kita belajar membina hubungan yang lebih baik dengan orang lain. Orang lain merasa dipentingkan, merasa dihargai, dan merasa diutamakan (spesial). Dalam kondisi psikologis seperti ini, orang lain akan lebih mudah mementingkan kita, menghargai kita, dan menjadikan kita spesial. Hubungan sosial kita menjadi indah, istimewa, dan membahagiakan. Dan berkali-kali orang hebat membuktikan: kesuksesan dan kebahagiaan hidupnya bertumpu pada keterampilannya membina hubungan dengan orang lain – dengan keluarganya, koleganya, rekan kerjanya, sahabatnya, masyarakatnya, dan seterusnya.


Orang Hebat Menerima Kesalahan dan Kegagalan


Kesalahan dan kegagalan sering dimaknai sebagai negatifitas dari sebuah proses. Padahal kalau kita tahu, keduanya merupakan keberhasilan dalam wajahnya yang lain. Berkali-kali gagal, berkali-kali salah, dan akhirnya berhasil sesungguhnya berkali-kali orang meraih keberhasilan. Anda boleh bertanya, berapa kali Einstein melakukan kesalahan sebelum menemukan rumus e = mc2 yang mengguncang dunia itu. Demikian juga Thomas Alfa Edison yang termashur memiliki beribu hak paten di Amerika Serikat. Dari sekian ribu patennya, berapa ribu kali kesalahan uji menyertainya. Mereka bukan menghilangkan kesalahan, mereka tidak menafikan kegagalan. Karena salah dan gagal adalah jalan panjangnya kesuksesan. Orang hebat punya itu. Punya eye of mind untuk tidak sekedar memahami kesalahan dan kegagalan sebagai proses yang terpisah dari kesuksesan, melainkan menjadi batu-bata penyusunnya. Orang-orang ini seolah berteriak - seperti teriakan Billi PS Lim - "DARE TO FAIL!"

Sebagai bahan inspirasi, saya tampilkan sejumlah kisah orang hebat yang 'rela' mengakui kesalahan dan kegagalan dalam hidupnya, lalu mengubahnya menjadi prestasi yang luar biasa. Meraka, kata Gede Prama, tidak hanya berhasil membuka gembok psikologis, tetapi juga berhasil memberi warna lain terhadap peradaban manusia.

Soichiro Honda - pendiri dinasti honda yang legendaris - adalah cerita tentang murid miskin yang bercita-cita bisa mendesain piston. Tak terhitung berapa kali dia gagal merancang piston yang baik. Setelah merasa cukup dengan hasil pistonnya, tak terhitung juga berapa puluh kali ia ditolak perusahaan. Lalu berulang kali lagi ia memperbaiki pistonnya sampai akhirnya, setelah bertahun-tahun, perusahaan Toyota menerima rancangannya. Akan tetapi, keadaan perang - yang membuat perekonomian compang-camping - membuat semua mimpinya tenggelam. Tak berhenti mencoba, Soichiro kemudian mendirikan pabrik piston sendiri. Baru saja ada tanda-tanda awal kemajuan, AS membom Jepang dan berantakanlah semuanya. Ia sempat beralih pada bisnis perakitan sepeda motor. Ia menyurati lebih dari 18.000 toko untuk menawarkan produknya. Ada sekitar 5.000 toko yang merespon suratnya. Sukses? Ternyata belum, karena dalam waktu sekejap terjadi over supply dalam produk sepeda motor. Kini namanya berkibar menjadi merek motor dan mobil bermesin bandel di dunia.

Abraham Lincoln, salah seorang presiden AS yang amat dikenang dalam sejarah dunia, memiliki kisah yang sama menariknya. Di umur 22, Lincoln gagal menjadi usahawan. Di umur 23 tidak berhasil menjadi anggota legislatif. Jatuh lagi usahanya di umur 25. Setahun kemudian kekasih yang amat dia cintai meninggal dunia. Disusul kemudian oleh datangnya penyakit depresi mental. Ketika umurnya menginjak angka 34, 37, dan 39, ia kalah lagi berulang-ulang dalam pemilihan menjadi anggota kongres. Tak letih mencoba, ia kemudian mencoba mencalonkan diri menjadi senator di umur 47, kalah lagi dalam pencalonan diri menjadi wakil presiden. Di umur 49, gagal lagi duduk di kursi senator. Namun, di umurnya yang ke 52, ia dipilih menjadi presiden AS yang kemudian dikenang sepanjang masa sebagai pemimpin legendaris.

Warner von Barun dikenal sebagai penemu roket. Suatu hari, ia dipanggil sang bos. Ditanya tentang berapa kesalahan yang sudah ia lakukan. Dengan nada tegas ia menyebut angka 65.121 kali. Ditanya lagi, perlu berapa kesalahan lagi agar roketnya bisa terbang. Ia menyebut angka 5.000 kali lagi! Tidak mau kalah, Walt Disney, proyek kebanggaan dunia itu, harus runtuh sebanyak 302 kali sebelum berjaya hingga saat ini. Disney sendiri, di kemudian hari, mengabadikan proses dirinya itu dalam seuntai kalimat If you can dream it, you can do it.

Apa yang Anda peroleh dari membaca kisah mereka? Meraka berkali-kali gagal. Mereka berulang kali melakukan kesalahan. Tapi, mereka tetap mencoba. Inilah pengakuan paling jujur orang-orang yang melakukan kesalahan. Bukan pengakuan verbal, melainkan kemauan untuk terus mencoba dan memperbaiki. Dan orang hebat memilih jalan itu.

Sabtu, November 08, 2008

Orang Hebat Menciptakan Surga di Dunia

Pergumulan pemikiran orang mengenai surga-neraka sudah terjadi sejak dulu kala. Hampir semua orang dari yang paling sholeh hingga yang paling salah menjadikan dua alam beda isi itu sebagai parameter keberhasilan dan kesuksesan amal di dunia. Paling tidak pernyataannya begini: amal sholeh diganjar masuk surga dan amal salah diganjar masuk neraka. Sejak itu, surga hampir menjadi idealita setiap orang. Karena di sana segalanya indah. Dalam al-Quran ia digambarkan laksana tempat yang dialiri sungai-sungai nan jernih menawan dan manusia hidup di dalamnya untuk selamanya, tajri min tahtihal anhaar khaalidiina fiha abadan. Umat Hindu menyebutnya Nirwana. Orang Kristen menyebutnya sebagai tempat kembalinya "domba-domba" yang tersesat, dan seterusnya. Kitab-kitab klasik mengkiaskan keindahan surga sebagai tak berhingga kali keindahan yang terindah. Semua orang, tak peduli ia baik atau bejat, sholeh atau salah, ingin masuk surga. Semua orang berharap meraih surga. Tapi sayang surga salalu membatasi diri untuk orang-orang yang tidak biasa, tapi luar biasa!

Dalam sebuah hadits, Rasul Muhammad SAW pernah berujar, ad-dunya mazro'atun lil akhiroh, dunia adalah tempat bercocok tanam bagi akhirat. Tafsirnya kira-kira begini: kalau yang kita tanam di dunia tanaman yang baik dan berkualitas unggul, maka di akhirat kita pun akan menuai hasil yang baik dan memuaskan hati, demikian juga sebaliknya. Menanam sendiri dalam cakupannya yang komprehensif meliputi rencana, cara (proses), pelaksanaan - dari niat sampai tindakan, from mission to action. Sementara menuai kebaikan di akhirat dapat dipadankan sebagai beroleh surga yang kekal abadi, tentuntunya atas ridho Alloh Sang Pencipta. Jadi kehidupan dunia tidak terlepas apalagi terpisah dari kehidupan akhirat. Demikian juga, surga tidak lagi hanya ada di akhirat, melainkan juga (dapat dihadirkan) di dunia fana ini. Ini berarti setiap orang (seharusnya) dapat mengalami dua kali masuk surga. Pertama, (memilih) masuk surga dunia dan kedua, masuk surga akhirat.
Orang hebat memilih untuk menghadirkan surga di dunia. Atas pilihan ini, orang hebat akan beroleh tiket masuk ke surga yang kedua. Bagaimana caranya? Caranya sederhana: asal posisi hati kita benar, posisi niat kita benar, posisi azzam kita benar, dan posisi aksi kita benar. Teman, dunia adalah ruang interaksi yang didasarkan pada kebutuhan. Ada paling kurang tiga model motif sosial - yang menghubungkan interaksi dan pemenuhan kebutuhan, yakni: Need of Affiliation (kebutuhan akan kebersamaan dan persahabatan), Need of Power (kebutuhan akan kekuasaan), dan Need of Achievement (kebutuhan akan prestasi).

Need of Affiliation akan menghadirkan kecenderungan sebagai berikut: minat akan terjalinnya persahabatan, khawatir akan putusnya persahabatan, suka bekerja sama / gotong royong, toleransi, meminta persetujuan, bangga diterima masuk kelompok, bekerja dengan orang lain (team work), risih hidup menyendiri, setia pada kelompok.
Need of Power akan menghadirkan kecenderungan sebagai berikut: menunjukkan minat pada kekuasaan, mempengaruhi orang, mengendalikan orang lain, peka kepada struktur kelompok, membantu orang lain meski tidak diminta, berbuat sesuatu yang menimbulkan perasaan kuat, suka mengatur, disiplin tinggi, ingin dihormati, diakui, dan dihargai, perasaannya mudah tersentuh, berpendirian teguh, peka terhadap interpersonal.
Sementara Need of Achievement menghadirkan kecenderungan: suka berkompetisi, ingin dapat lebih banyak, puas pada keunggulan, menyibukkan diri dalam kegiatan pribadi, peka terhadap masalah, melibatkan diri dalam pembicaraan penting, berfikir ke depan, berani mengambil resiko, rasa tanggung jawab besar, tekad kuat terhadap keinginan pribadi, terbuka dan sportif, mengatasi masalah dengan unik.

Itulah motif sosial dalam ruang interaksi kita sehari-hari. Sebagian besar - kalau tidak semuanya - merupakan respon alami kita atas berbagai macam kebutuhan. Tinggal bagaimana kita memosisikan diri untuk memilih respon yang tepat atas berbagai pilihan tindakan. Dan di sana surga - neraka terpampang nyata sebagai sebuah pilihan. Di rumah, di jalan, di pasar, di kampus, di kantor, di tempat hiburan, bahkan di tempat-tempat ibadah selalu menyediakan pojok-pojok atau ruang-ruang bagi surga dan neraka, sama banyaknya, sama peluangnya. Demikian juga dalam hubungan kerja sama, dalam hubungan profesional, dalam pertemanan, dalam permainan, dalam perlombaan, dalam persaingan, bahkan dalam ritual keagamaan di sana selalu ada ruang peluang bagi surga dan neraka dalam porsi yang sama.

Kita mungkin pernah melihat atau mengalami sendiri perasaan tertekan, dimaki, dicaci, dituduh, dihina, disuruh-suruh, dikhianati, dan bentuk-bentuk tekanan lain - fisik maupun emosi - yang membuat hidup jenuh, jengah, stres, dan membosankan. Atau kita mungkin pernah pada posisi yang menekan orang lain, menuduh orang lain, menghina orang lain, mengkhianati orang lain dan seterusnya. Tidakkah kita sadar, kita telah menciptakan neraka dunia dalam diri kita dan diri-diri di luar sana. Kenapa kita tidak memilih cara sebaliknya - cara-cara surgawi yang membuat kita dan orang lain nyaman, aman, tenteram, merasa dihargai, dan terberdaya?
Mengapa seorang bos harus berteriak keras kepada bawahannya kalau permintaan lembut dibarengi teladan lebih efektif dalam memimpin perusahaan? Mengapa harus menghujat, memfitnah, iri, dengki, hasad, hasud kalau yang kita terima serupa dengan yang kita lakukan itu? Lalu mengapa harus pula membenci dan dendam - bahkan kepada orang-orang yang membenci dan dendam kepada kita - kalau kita tahu itu tidak mengobati hati yang luka? Mengapa juga harus berbohong kalau kejujuran lebih mendamainkan hati? Teman, surga lebih sering dapat kita hadirkan asal kita dapat menahan emosi dan egoisme diri.

Gede Prama mengajarkan kita untuk berkaca pada kehidupan setiap bayi mungil. Jiwanya begitu bersih tanpa prasangka (non judgemental). Selalu ingin gembira dan tanpa ia sadari menggembirakan orang-orang disekitarnya. Bersama seorang bayi kita tidak berharap banyak. Sehat, senyum, dan memanggil papa saja sudah cukup. Akan tetapi, dari kehidupan kita memiliki harapan yang tidak terbatas. Harapan terakhir ini seperti langit. Jauh, tanpa batas, dan tak berujung. Sehingga, bila dicari kemana pun dan sampai kapan pun, ia tetap tidak ketemu.
Bersama bayi kita mudah sekali menjadi manusia pemaaf. Namun, begitu berhadapan dengan kehidupan, betapa susahnya memaklumi kesalahan yang kita lakukan maupun dilakukan oleh orang lain. Betapa susahnya memaafkan orang yang membenci dan mengkhianati kita. Selanjutnya, bersama bayi, respon alami kita sebagai manusia mudah sekali muncul. Bila ia tersenyum, tersenyumlah kita. Bila ia menangis, kita akan mencari cara agar ia kembali tersenyum. Hanya saja, dengan kehidupan, tidak sedikit manusia yang kehilangan respon alaminya. Sudah memiliki rumah mewah, naik mercedes, main golf tetapi tetap saja memaksa lebih dan lebih, bahkan dengan cara-cara yang tidak benar. Terakhir, bersama bayi, manusia manapun sangat mudah menerapkan kebiasaan menyayangi. Tetapi, dengan kehidupan betapa sedikit orang yang menyayangi kehidupannya, menyayangi orang-orang di sekitarnya. Dengan memfitnah, iri, dengki, menuduh, dsj mereka tentu saja tidak menyayangi kehidupan ini.

Itulah surga dunia. Yang dapat kita hadirkan dengan cara memosisikan dengan benar hati kita, niat kita, cara pandang kita, azzam kita, dan tindakan kita. Yakni pada posisi kebermaknaan hidup. Dan, orang hebat memilih untuk hidup bermakna - merasakan surga pertama sebelum mengenyam surga sejati di akhirat nanti.

Minggu, November 02, 2008

Orang Hebat Menciptakan Surga di Dunia


Pergumulan pemikiran orang mengenai surga-neraka sudah terjadi sejak dulu kala. Hampir semua orang dari yang paling sholeh hingga yang paling salah menjadikan dua alam beda isi itu sebagai parameter keberhasilan dan kesuksesan amal di dunia. Paling tidak pernyataannya begini: amal sholeh diganjar masuk surga dan amal salah diganjar masuk neraka. Sejak itu, surga hampir menjadi idealita setiap orang. Karena di sana segalanya indah. Dalam al-Quran ia digambarkan laksana tempat yang dialiri sungai-sungai nan jernih menawan dan manusia hidup di dalamnya untuk selamanya, tajri min tahtihal anhaar khaalidiina fiha abadan. Umat Hindu menyebutnya Nirwana. Orang Kristen menyebutnya sebagai tempat kembalinya "domba-domba" yang tersesat, dan seterusnya. Kitab-kitab klasik mengkiaskan keindahan surga sebagai tak berhingga kali keindahan yang terindah. Semua orang, tak peduli ia baik atau bejat, sholeh atau salah, ingin masuk surga. Semua orang berharap meraih surga. Tapi sayang surga salalu membatasi diri untuk orang-orang yang tidak biasa, tapi luar biasa!

Dalam sebuah hadits, Rasul Muhammad SAW pernah berujar, ad-dunya mazro'atun lil akhiroh, dunia adalah tempat bercocok tanam bagi akhirat. Tafsirnya kira-kira begini: kalau yang kita tanam di dunia tanaman yang baik dan berkualitas unggul, maka di akhirat kita pun akan menuai hasil yang baik dan memuaskan hati, demikian juga sebaliknya. Menanam sendiri dalam cakupannya yang komprehensif meliputi rencana, cara (proses), pelaksanaan - dari niat sampai tindakan, from mission to action. Sementara menuai kebaikan di akhirat dapat dipadankan sebagai beroleh surga yang kekal abadi, tentuntunya atas ridho Alloh Sang Pencipta. Jadi kehidupan dunia tidak terlepas apalagi terpisah dari kehidupan akhirat. Demikian juga, surga tidak lagi hanya ada di akhirat, melainkan juga (dapat dihadirkan) di dunia fana ini. Ini berarti setiap orang (seharusnya) dapat mengalami dua kali masuk surga. Pertama, (memilih) masuk surga dunia dan kedua, masuk surga akhirat.

Orang hebat memilih untuk menghadirkan surga di dunia. Atas pilihan ini, orang hebat akan beroleh tiket masuk ke surga yang kedua. Bagaimana caranya? Caranya sederhana: asal posisi hati kita benar, posisi niat kita benar, posisi azzam kita benar, dan posisi aksi kita benar. Teman, dunia adalah ruang interaksi yang didasarkan pada kebutuhan. Ada paling kurang tiga model motif sosial - yang menghubungkan interaksi dan pemenuhan kebutuhan, yakni: Need of Affiliation (kebutuhan akan kebersamaan dan persahabatan), Need of Power (kebutuhan akan kekuasaan), dan Need of Achievement (kebutuhan akan prestasi).

Need of Affiliation akan menghadirkan kecenderungan sebagai berikut: minat akan terjalinnya persahabatan, khawatir akan putusnya persahabatan, suka bekerja sama / gotong royong, toleransi, meminta persetujuan, bangga diterima masuk kelompok, bekerja dengan orang lain (team work), risih hidup menyendiri, setia pada kelompok.

Need of Power akan menghadirkan kecenderungan sebagai berikut: menunjukkan minat pada kekuasaan, mempengaruhi orang, mengendalikan orang lain, peka kepada struktur kelompok, membantu orang lain meski tidak diminta, berbuat sesuatu yang menimbulkan perasaan kuat, suka mengatur, disiplin tinggi, ingin dihormati, diakui, dan dihargai, perasaannya mudah tersentuh, berpendirian teguh, peka terhadap interpersonal.

Sementara Need of Achievement menghadirkan kecenderungan: suka berkompetisi, ingin dapat lebih banyak, puas pada keunggulan, menyibukkan diri dalam kegiatan pribadi, peka terhadap masalah, melibatkan diri dalam pembicaraan penting, berfikir ke depan, berani mengambil resiko, rasa tanggung jawab besar, tekad kuat terhadap keinginan pribadi, terbuka dan sportif, mengatasi masalah dengan unik.

Itulah motif sosial dalam ruang interaksi kita sehari-hari. Sebagian besar - kalau tidak semuanya - merupakan respon alami kita atas berbagai macam kebutuhan. Tinggal bagaimana kita memosisikan diri untuk memilih respon yang tepat atas berbagai pilihan tindakan. Dan di sana surga - neraka terpampang nyata sebagai sebuah pilihan. Di rumah, di jalan, di pasar, di kampus, di kantor, di tempat hiburan, bahkan di tempat-tempat ibadah selalu menyediakan pojok-pojok atau ruang-ruang bagi surga dan neraka, sama banyaknya, sama peluangnya. Demikian juga dalam hubungan kerja sama, dalam hubungan profesional, dalam pertemanan, dalam permainan, dalam perlombaan, dalam persaingan, bahkan dalam ritual keagamaan di sana selalu ada ruang peluang bagi surga dan neraka dalam porsi yang sama.

Kita mungkin pernah melihat atau mengalami sendiri perasaan tertekan, dimaki, dicaci, dituduh, dihina, disuruh-suruh, dikhianati, dan bentuk-bentuk tekanan lain - fisik maupun emosi - yang membuat hidup jenuh, jengah, stres, dan membosankan. Atau kita mungkin pernah pada posisi yang menekan orang lain, menuduh orang lain, menghina orang lain, mengkhianati orang lain dan seterusnya. Tidakkah kita sadar, kita telah menciptakan neraka dunia dalam diri kita dan diri-diri di luar sana. Kenapa kita tidak memilih cara sebaliknya - cara-cara surgawi yang membuat kita dan orang lain nyaman, aman, tenteram, merasa dihargai, dan terberdaya?

Mengapa seorang bos harus berteriak keras kepada bawahannya kalau permintaan lembut dibarengi teladan lebih efektif dalam memimpin perusahaan? Mengapa harus menghujat, memfitnah, iri, dengki, hasad, hasud kalau yang kita terima serupa dengan yang kita lakukan itu? Lalu mengapa harus pula membenci dan dendam - bahkan kepada orang-orang yang membenci dan dendam kepada kita - kalau kita tahu itu tidak mengobati hati yang luka? Mengapa juga harus berbohong kalau kejujuran lebih mendamainkan hati? Teman, surga lebih sering dapat kita hadirkan asal kita dapat menahan emosi dan egoisme diri.

Gede Prama mengajarkan kita untuk berkaca pada kehidupan setiap bayi mungil. Jiwanya begitu bersih tanpa prasangka (non judgemental). Selalu ingin gembira dan tanpa ia sadari menggembirakan orang-orang disekitarnya. Bersama seorang bayi kita tidak berharap banyak. Sehat, senyum, dan memanggil papa saja sudah cukup. Akan tetapi, dari kehidupan kita memiliki harapan yang tidak terbatas. Harapan terakhir ini seperti langit. Jauh, tanpa batas, dan tak berujung. Sehingga, bila dicari kemana pun dan sampai kapan pun, ia tetap tidak ketemu.

Bersama bayi kita mudah sekali menjadi manusia pemaaf. Namun, begitu berhadapan dengan kehidupan, betapa susahnya memaklumi kesalahan yang kita lakukan maupun dilakukan oleh orang lain. Betapa susahnya memaafkan orang yang membenci dan mengkhianati kita. Selanjutnya, bersama bayi, respon alami kita sebagai manusia mudah sekali muncul. Bila ia tersenyum, tersenyumlah kita. Bila ia menangis, kita akan mencari cara agar ia kembali tersenyum. Hanya saja, dengan kehidupan, tidak sedikit manusia yang kehilangan respon alaminya. Sudah memiliki rumah mewah, naik mercedes, main golf tetapi tetap saja memaksa lebih dan lebih, bahkan dengan cara-cara yang tidak benar. Terakhir, bersama bayi, manusia manapun sangat mudah menerapkan kebiasaan menyayangi. Tetapi, dengan kehidupan betapa sedikit orang yang menyayangi kehidupannya, menyayangi orang-orang di sekitarnya. Dengan memfitnah, iri, dengki, menuduh, dsj mereka tentu saja tidak menyayangi kehidupan ini.

Itulah surga dunia. Yang dapat kita hadirkan dengan cara memosisikan dengan benar hati kita, niat kita, cara pandang kita, azzam kita, dan tindakan kita. Yakni pada posisi kebermaknaan hidup. Dan, orang hebat memilih untuk hidup bermakna - merasakan surga pertama sebelum mengenyam surga sejati di akhirat nanti.

Orang Hebat Memiliki Ketajaman Spiritual


Spiritual oleh orang kebanyakan sering dikaitkan dengan agama. Aksentuasi yang paling tepat dari istilah ini sesungguhnya terkait dengan aspek pemaknaan atas segala sesuatu. Sehingga apapun agamanya, pemaknaan selalu dapat muncul atau dimunculkan sebagai sebuah spirit kehidupan. Meskipun kalau kita kaji lebih dalam, pemaknaan tertinggi akan selalu menempatkan Sang Causa Prima, pada puncaknya. Dan untuk itu beribadah (dalam arti ritual) menjadi bagian dari kebutuhan spiritual.

Spiritual. Inilah puncak tertinggi capaian pemenuhan kebutuhan manusia. Stephen R. Covey menengarai empat kebutuhan berdasarkan tingkatannya: to life (hidup), to love (mencinta/bersosial), to learn (belajar), dan puncak tertinggi to leave a legacy (bermakna/spiritual). Jauh sebelum Covey, Abraham Maslow membuat hirarki kebutuhan manusia. Dimulai dari dasar: kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan untuk mencinta, kebutuhan akan penghargaan, dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Di buku diktat, itulah lima tingkatan kebutuhan Maslow. Namun menjelang ajalnya menjemput, tidak banyak orang yang tahu kalau dia menambahkan satu tingkat tertinggi, yakni kebutuhan transendensi (kebutuhan spiritual).

Baik Maslow maupun Covey sadar betul menempatkan Spiritual sebagai puncak kebutuhan. Karna spiritual terkait dengan aspek-aspek pemaknaan, hidup bertujuan, berintegritas dan memiliki sumbangan/warisan (hidup bermanfaat). Ia tidak lagi hanya berkutat pada diri, tapi sekaligus pada diri-diri di luar sana, pada kemanusiaan universal, dan pada peradaban. Sangat jelas dalam Hirarki Maslow, lima kebutuhan sebelumnya berorientasi pada diri, sementara Transendensi melepaskan semua atribut diri untuk masuk pada atribut-atribut pengabdian, pengorbanan, dan sumbangan.

Dalam bahasan tentang Spiritual Intelligence (Spiritual Quotient, SQ), bahkan oleh pencetusnya pertama kali, Danah Zohar dan Ian Marshall, (Kecerdasan) Spiritual disebut sebagai The Ultimate Intelligence. Apa dasarnya? "SQ is the necessary foundation for the effective functioning of both IQ and EQ," ungkap Danah Zohar dan Ian Marshall dalam bukunya itu. Berbeda dengan IQ (kemampuan untuk belajar dan mencipta) dan EQ (kemampuan bersosial) yang lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan fisik dan emosional, SQ memenuhi kebutuhan jiwa (soul). Jika IQ bersandarkan pada nalar, rasio, intelektual, sementara EQ pada emosi, maka hakikat sejati SQ disandarkan pada the soul's intelligence. Ia membangkitkan pusat dari kesadaran setiap insan. Pusat penentu pilihan baik atau buruk - benar atau salah, HATI.

Karena itu, mengutip Sukidi dalam New Age, Wisata Spiritual Lintas Agama (2001), pekik SQ adalah suara hati (conscience). Suara yang paling jernih dalam hiruk pikuk kehidupan kita, yang tidak bisa ditipu oleh siapapun, termasuk diri kita sendiri. Kebenaran sejati terletak pada conscience ini. Karena itu SQ menyingkap kebenaran sejati yang lebih sering tersembunyi (hidden truth) di tengah adegan-adegan hidup yang serba palsu dan menipu. Kodrat SQ adalah fitrah yang selalu dalam kondisi - istilah penganut filsafat eksistensialisme - "the peace of the all sufficient." Inilah kiranya yang disebut sebagai nafsu al muthmainnah. Jiwa yang damai dan tenang, yang bisa menjalin kontak spiritual dengan Ilahi Rabbi. Hingga Alloh bersenandung indah kepadanya: "ya ayyatuhan nafsul mutmainnah. irji'i ila rabbiki raadhiyatan mardiyyah. fadkhuli fi 'ibadii wadkhulii jannatii (al-Fajr: 27-30).

Selanjutnya ekspresi SQ itu dipantulkan dalam etika sosial. Bersumber pada kesadaran hati. Mengikat makna kejadian-kejadian setiap hari. Lalu tergerak untuk berkontribusi. Membuat dan meninggalkan warisan kepada makhluk di bumi. Inilah puncak kesadaran diri. Kesadaran untuk menebar makna sepanjang masa melampaui batas usia yang ditentukan-Nya. Dan orang hebat punya kesadaran itu. Kesadaran untuk mempertajam mata spiritualnya (eye of the heart).

Orang Hebat Memenuhi Komitmennya


Sering saya bertanya pada diri saya sendiri, apa jadinya saya kelak - beberapa puluh tahun mendatang? Pertanyaan yang sama sering saya ajukan kepada teman-teman saya, apa 'the end'-nya seorang Dinda, Anwar, Indah, misalnya, dst. The end yang saya maksud adalah kondisi relatif seseorang dalam jangka waktu tertentu di masa datang, bisa status, pekerjaan, kepemilikan, kepribadiaan, dan kualitas-kulaitas insani lainnya. Mungkin seorang SBY tidak pernah menyangka kalau dirinya pada akhirnya dinobatkan menjadi presiden RI ke-6. Bahkan wakilnya, Jusuf Kalla konon hanya bercita-cita menjadi Lurah di kampungnya. Nah, presiden untuk SBY dan wapres untuk JK inilah yang menjadi pertanyaan/pernyataan 'the end' keduanya pada masa lalu. Sekarang (present) mereka sudah menjadi presiden dan wakil presiden RI ke-6. Dulu - sama dengan kita sekarang - mereka mungkin juga bertanya-tanya: apa jadinya saya kelak?

Apa yang kita bicarakan di atas, itulah ruang mimpi, cita-cita, harapan, atau keinginan setiap orang. Semua orang punya itu. Akan tetapi respon tiap-tiap orang berbeda untuk setiap ruang yang mereka punya. Ada yang membiarkan saja ruang itu tanpa rencana - tanpa cita-cita. Motto mereka kira-kira begini: biarkan hidup mengalir. Ada yang berencana - bercita-cita, tapi alakadarnya saja. Tidak muluk-muluk, kata mereka. Ada yang sengaja, sadar, dan sungguh-sungguh mememenuhi ruang itu dengan berjuta mimpi yang luar biasa. Yang pasti, apapun respon anda, itulah pilihan anda. Sepenuhnya anda mengontrol ruang-ruang itu.

Pilihan orang hebat adalah pilihan yang terakhir. Mereka memilih untuk memenuhi ruang itu dengan mimpi yang tidak biasa - luar biasa! Mereka sepenuhnya sadar kata-kata berikut: You are what you think. Wether you think you can, you can. If you can dream it, you can do it. Mereka sadar bahwa mereka adalah produk dari pikiran-pikiran mereka sendiri. Hingga Norman Vincent Paele khusus membuatkan buku untuk mereka berjudul The Power of Positive Thinking.

Setalah mimpi, cita-cita, dan rencana, orang hebat memenuhi hidupnya dengan komitmen pelaksanaan. Mereka kembali sadar bahwa hidup tak sekedar mimpi. Hidup adalah rangkaian aksi yang berulang-ulang hingga sampai pada perwujudan mimpi itu. Setelah mimpi, lalu take action. Dengan cara ini orang-orang hebat menggenggam dan memenuhi nasibnya.

Orang hebat punya komitmen. Komitmen adalah ketetapan hati untuk memenuhi janji. Ketetapan hati untuk meluangkan waktu, pikiran, tenaga, harta, bahkan nyawa untuk menepati janjinya: menepati mimpi, cita-cita, harapan, dan keinginannya. Mereka sadar untuk menerjemahkan apa yang dikatakan Hasan Al-Banna, Hari ini adalah mimpi kita kemarin. Hari esok adalah mimpi kita hari ini, menjadi, Hari ini adalah komitmen kita kemarin. Hari esok adalah komitmen kita hari ini. Mereka sadar ada jembatan antara mimpi dan kenyataan, antara rencana dan tindakan, yaitu komitmen.

Anthony Robin memenuhi komitmennya mencetak jutaan dolar, menggelar training masal yang sensasional, padahal dia berangkat dari tukang pel sebuah restoran. Di usia yang ke-50 kelak, dia berniat mencalonkan diri menjadi presiden Amerika Serikat. Purdi Candra memenuhi komitmennya menjadi kaya harta dan usaha meski memilih drop out dari bangku kuliahnya di UGM. Ia sekarang bos sekaligus pemegang francise Lembaga Bimbingan Belajar Primagama, beberapa restoran, jasa travel agent, bisnis property, hotel, dsb.

Andreas Harefa memenuhi komitmennya, Sukses Tanpa Gelar. Ia menjadi pengkritik paling tajam sistem sekolahan formal yang tidak memberdayakan siswa didik. Ia tak pernah memanfaatkan ijazah formalnya. Ia berkomitmen tak akan pernah melamar kerja. Dan itu ia buktikan. Sekarang ia bangga punya gelar baru WTS (singkatan dari Writer, Trainer, Speaker). Ia memenuhi undangan training berbagai perusahaan nasional dan multinasional. Produktivitasnya luar biasa. Bukunya puluhan jumlahnya, dan rata-rata best seller nasional.

Ada lagi, Aa Gym da'i sekaligus pengusaha muda yang luar biasa. Ia pernah menjadi tukang bakso semasa kuliah. Sekarang, jangan tanya kesuksesannya, ia menjadi trend setter pribadi yang mampu menggabungkan kehidupan dunia dan akhirat menjadi selaras. Ia punya pesantren virtual Daarut Tauhid yang sekaligus menjadi kerajaan bisnis beromset milyaran rupiah dengan berbagai lini usaha dari penginapan, supermarket, cafe, laundry, rekaman, penerbitan, jaringan pemasaran, sampai program televisi.

Mereka yang tersebut di atas adalah sedikit contoh dari orang-orang hebat yang sukses karena memenuhi komitmennya. Menjadi seperti mereka tidaklah susah. Caranya sederhana, yakni miliki keteguhan dan ketangguhan (adversity) dalam berusaha, dengan cara melihat kegagalan sebagai tangga-tangga kesuksesan, tidak mudah putus asa, serta profesional dan konsisten pada bidang usaha, aktivitas, dan pekerjaan yang diminati. Selamat mencoba!

Orang Hebat Membuka Dirinya Kepada Orang Lain

Bagian ini merupakan kelanjutan dari bab terdahulu dengan judul Orang Hebat Sadar Diri. Sadar diri merupakan the end process dari upaya mengenal diri sendiri. Upaya ini merupakan perbuatan khas manusia. Hanya manusialah yang mempunyai keinginan dan mampu mengenal dirinya sendiri, serta memanfaatkan pengetahuanya itu untuk tujuan pengembangan pribadi. Dalam perspektif psikologis, pengenalan diri berarti pandangan realistis dan objektif seseorang tentang dirinya sendiri. Secara operasional pengenalan diri itu berbentuk usaha-usaha memperluas dan memperdalam kesadaran mengenai berbagai aspek, kesecenderungan, kekhususan diri sendiri dan lingkungannya, seperti kemampuan, sifat, sikap, minat, bakat, motif, pemikiran. perasaan, corak penyesuaian diri, dan makna hidup, baik yang telah teraktualisasi maupun yang masih merupakan potensi (Hanna Djumhana Bastaman, 1996)

Setiap orang, setiap saat, punya kesempatan untuk selalu mengenal dirinya, memperbaiki dirinya, dan menjadikan dirinya selalu baru - "A New Me." Pertama, melalui serangkaian aktivitas teratur secara individual berupa solo training atau sering dibahasakan sebagai self assessment. Aktivitasnya berupa perenungan secara mendalam tentang diri kita melalui aktivitas meditasi, bertafakur, i'tikaf, bertapa, retreat bagi kaum nasrani, dan sejenisnya. Orang hebat sering melakukan ini. Aktivitas yang tepat dibahasakan sebagai muhasabah an-nafsi. Caranya mudah: Luangkan waktu sejenak - dalam hening dan tenang. Hentikan aktivitas fisik. Pusatkan konsentrasi. Lalu mulailah latihan menganalisis diri sendiri, meninjau keadaan lingkungan, merenungkan kehidupan dan pengalaman-pengalaman pribadi, serta membuat rencana-rencana. Rangkaian aktivitas itu ditutup dengan komitmen pelaksanaan rencana.

Hari ini adalah komitmen hari kemarin. Hari esok adalah komitmen hari ini.

Orang hebat selalu memenuhi komitmennya.

- Danang A. Akbarona -

Yang kedua, selain merenung dalam ruang-ruang kesendirian dan keheningan, setiap orang berkesempatan hadir dalam ruang interaksi dengan orang lain. Bentukya bisa bermacam-macam: aktivitas organisasi, kerjasama, kerja profesional, pertemanan, dan lain-lain. Ruang ini bisa juga dimanfaatkan sebagai sarana mengenali diri - mengenal diri dengan cara membuka diri kepada orang lain. Dalam "Konsep Diri" dikenal tiga konsep aku, yakni: aku diri, aku sosial, dan aku ideal. Proses pengenalan diri dalam ruang-ruang kesendirian menghasilkan aku diri. Sementara proses pengenalan diri dalam ruang interaksi kita menghasilkan aku sosial. Keduanya saling pintal-memintal dengan aku ideal membentuk kosep diri seseorang.

Orang hebat, dalam rangka mengenal dirinya lebih dalam, membuka dirinya kepada orang lain. Orang hebat selalu berharap evaluasi orang lain, mengetahui penilaian orang lain, dan mendengar masukan dan apresiasi orang lain - dalam ruang interaksi sosialnya. Inilah bentuk perluasan kesadaran diri yang terjadi karena interaksi sosial seseorang. Atas dasar pemahaman terakhir, Luft dan Ingham, pakar psikologi kenamaan, mengemukakan prinsip Johari Window-nya. Prinsip Johari Window digambarkan sebagai sebuah bujur sangkar dengan empat kuadran yang menunjukkan daerah kepribadian seseorang.

Kuadran I disebut "Daerah Terbuka" (open area). Daerah ini mencakup hal-hal yang saya ketahui tentang diri saya dan juga diketahui oleh orang lain. Misalnya, saya mengetahui dan sadar bahwa saya pandai berorasi, dan orang-orang sekitar saya pun tahu bahwa saya pandai berorasi.

Kuadran II disebut "Daerah Buta" (blind area). Daerah ini mencakup hal-hal tentang diri saya yang tidak saya ketahui, tetapi orang disekitar saya mengetahuinya. Misalnya, saya tidak tahu dan tidak sadar bahwa kalau saya menanggapi pembicaraan orang lain sering menyakitkan hati, tetapi hal itu diketahui orang lain.

Kuadran III disebut "Daerah tertutup" (hidden area). Daerah ini mencakup hal-hal yang saya ketahui tentang diri saya, tetapi orang lain tidak mengetahuinya. Misalnya, saya mengetahui dan menyadari bahwa saya mempunyai suara merdu, tetapi orang lain di sekitar saya tidak mengetahui bahwa saya pandai menyanyi. Hal ini terjadi karena saya belum memberitahu mereka dan bernyayi di depan mereka.

Kuadran IV disebut "Daerah Gelap" (dark area). Daerah ini menacakup segala sesuatu tentang diri saya yang tidak saya ketahui dan juga tidak diketahui orang lain. Daerah ini sangat luas, mencakup potensi-potensi yang tak disadari (unconscious), tetapi pada suatu saat - biasanya dalam keadaan darurat - akan terungkap. Misalnya, dalam keadaan rumahnya terbakar kadang-kadang seorang pemilik rumah dapat mengangkat barang-barang yang dalam keadaan normal mungkin tak terangkat kerena beratnya.

Orang hebat melatih dirinya untuk memperluas Kuadran I dengan jalan memperkecil Kuadran II dan Kuadran III. Untuk memperluas Kuadran I diperlukan kesediaan untuk membuka diri (self disclosure) dan memberikan umpan balik (giving feedback) kepada orang lain. Orang hebat bersedia dan berani mengungkapkan secara sukarela segala sesuatu mengenai dirinya yang mungkin tidak diketahui orang lain. Usaha ini akan memperkecil Kuadran II. Demikian juga, orang hebat bersedia secara sukarela dan senang hati menerima umpan balik dari orang lain berupa tanggapan, kesan, pendapat, saran-saran yang bermanfaat dalam memperluas pengenalan dan kesadaran dirinya. Upaya ini akan memperluas Kuadran I dan, pada saat yang bersamaan, memperkecil Kuadran III. Sehubungan dengan itu diasumsikan bahwa Kuadran IV secara tak langsung turut menyempit dengan meluasnya Kuadran I.

Keterbukaan adalah kunci kesuksesan mengenali diri dan diri-diri orang lain. Orang hebat selalu menciptakan lingkungan sosial yang penuh dengan keterbukaan, kejujuran, dan saling percaya. Diawali dengan membuka diri kepada orang lain, menaruh kepercayaan pada orang lain, maka orang lain akan berlaku sama. Dengan demikian diharapkan akan muncul pandangan yang lebih objektif dan realistis atas diri sendiri untuk perubahan dan perbaikan.

Orang Hebat Memberi Teladan


Pernah menyaksikan film Pay It Forward? Film ini mengandung pesan moral melakukan kebaikan yang terencana setiap hari, sekecil apapun yang kita lakukan, secara konsisten, lalu menularkan kebaikan itu, kepada semua orang, yang belum pernah tersentuh oleh kebaikan yang sama. Jadilah aktivitas berbuat baik itu menjadi semacam 'multilevel marketing.' Maka, di film itu, satu inisiatif perbuatan baik - yang dilakukan oleh aktor utamanya; seorang anak - menyebar seantero kota, menjadi kegiatan kolektif. Di sana terkandung bermacam kekuatan. Kekuatan rencana (niat/isisiatif). Kekuatan konsistensi (istiqomah). Dan kekuatan teladan. Kekuatan yang terakhir akan kita jadikan atribut berikutnya dari orang-orang hebat.

Kekuatan teladan. Teladan mengandung dua unsur. Pertama, selalu fokus pada diri (starting from self). Inilah nama lain dari amal yang terlaksana. Tidak sekedar rencana. Bukan sekedar ucapan. Melainkan tindakan. Kedua, sang pemberi teladan sadar bahwa dirinya menjadi cermin pantul bagi sesamanya dan bagi masyarakatnya. Sehingga perbuatannya diusahakannya selalu bernilai positif, bermanfaat, dan progresif.

Kedua unsur itu membentuk kepribadian manusia-manusia hebat. Unsur pertama menjadikan mereka sibuk dengan upaya diri memaksimalkan potensi, bukan mengurusi kesalahan dan kelemahan orang, tapi abai pada kesalahan dan kelemahan diri sendiri. Sehingga pada masanya mereka tampil sebagai orang-orang yang memiliki pesona rasa, kata, dan karya yang terberdaya, yang layak dijadikan contoh bagi orang-orang disekitarnya. Unsur yang kedua sejatinya mendasari diri mereka untuk tetap dalam ruang etika universal yang mulia. Mereka sadar tidak hidup dalam ruang hampa. Mereka sadar hidup bersama. Dan karnanya mereka sadar ada misi penciptaan. Misi tentang keteraturan, kesejahteraan, dan kemakmuran dunia milik bersama.

Selanjutnya, teladan adalah perkara penciptaan karakter. Seperti halnya kepemimpinan. Bahkan, menurut saya, inilah aksen pertama dan yang paling utama dalam domain (konsep) kepemimpinan. Per defenisi, kepemimpinan adalah seni mempengaruhi orang lain untuk melakukan apa yang kita inginkan. Dan, mempengaruhi bukan memerintah, tidak pula memaksa. Mempengaruhi mengandung pesan kerelaan dan keikhlasan pada objek yang kita pengaruhi. Dan, jamak bagi kita, proses mempengaruhi menjadi semakin mudah dengan pemberian teladan. Seorang pemimpin yang rajin dan selalu tepat waktu dalam menghadiri pertemuan atau rapat-rapat, misalnya, akan menemukan karyawannya berlaku demikian juga. Mungkin awalnya karena segan dan takut pada atasan. Tapi, lama kelamaan akan terbiasa. Sebelum akhirnya menjadi karakter. Kata Stephen R. Covey dalam Seven Habit : "Taburlah gagasan. Petiklah perbuatan. Taburlah perbuatan. Petiklah kebiasaan. Taburlah kebiasaan. Petiklah karakter. Taburlah karakter. Petiklah nasib."

Dengan demikian, teladan adalah jalan pemimpin. Sementara, orang hebat selalu berpeluang (dan berkeinginan) menjadi manusia-manusia pemimpin. Pemimpin bukan dalam arti posisi dan jabatan, tapi dalam arti tindakan. Leadership is not a position, but is an action. Orang hebat memilih jalan keteladanan. Dengan memaksimalkan potensi, memperbaiki diri, dan kesadaran memberikan yang terbaik bagi masyarakatnya, orang hebat sedang membangun peradaban. Dimulai dari diri sendiri. Dimulai dari yang kecil. Dan dimulai sekarang juga.

Orang Hebat Hidup Dengan Semangat Kemuliaan


Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku

hanya untuk AllohTuhan semesta alam.

al-An'am: 162

Semangat dalam pengertian umum digunakan untuk menengarai minat yang menggebu, kegigihan, dan pengorbanan untuk meraih tujuan tertentu. Semangat melazimkan pengorbanan atas apa yang dimiliki - berupa materi, tenaga, pikiran, bahkan jiwa - untuk memenuhi apa yang diinginkan.

Seorang siswa gigih belajar hingga larut malam, berhari-hari, dan tak kenal lelah untuk memenuhi harapannya lulus UMPTN dan diterima di perguruan tinggi idaman. Seorang politisi tak kenal lelah senggol kanan-kiri, melakukan lobi-lobi, demi sebuah prestise berrnama kekuasaan, dst. Itulah semangat, itulah antusiasme, dalam sebagian fragmen kehidupan kita.

Yang akan kita bicarakan dalam bagian ini adalah semangat orang hebat. Semangat yang bertabur kemuliaan. Kemuliaan buah dari amal shaleh yang berdampak luas bukan hanya bagi dirinya pribadi, tapi juga bagi umat manusia dan kehidupan. Orang hebat bersemangat dalam amal yang terakhir disebut. Semangat mereka kekal dan abadi karena mereka mendasarkan tujuan dan pengharapan pada posisi yang benar - pada dzat yang kekal dan abadi, Tuhan Illahi Rabbi.

Inilah sumber motivasi yang menghasilkan kemuliaan. Meski kita kenal sumber-sumber lain berbentuk materi, pengakuan, penghargaan, prestise, semuanya bersifat sementara. Materi, siapa bisa jamin tetap dalam genggaman kita. Mungkin hari ini kita di atas bergelimang kekayaan. Esok hari bisa jadi kita di bawah bergumul dengan kemiskinan. Hari ini dipuji. Lain hari bisa jadi kita dimaki. Hari ini beroleh penghargaan. Kapan hari ada masanya kita dalam penghinaan, dst. Berharap kaya, harus siap miskin. Berharap pengakuan, harus siap dengan penolakan/pelecehan. Berharap penghargaan, harus siap dengan penghiaan, dst.

Mendasarkan semangat diri pada hal-hal di atas, berarti harus bersedia menerima kekecewaan. Semangat mudah sekali kendur. Semangat sangat mungkin luntur dengan cepat, secepat membalikkan telapak tangan. Lain halnya jika semangat didasarkan pada keridhaan Tuhan. Keridhaan-Nya kekal. Maka, semangatpun tak mengenal anfal. Ridha-Nya membuat hati kita ridha. Hati yang ridha tak mengenal sesal dan kecewa. Yang tersisa darinya hanyalah luasnya samudera penerimaan. Buahnya tentu saja kebahagiaan. Apa yang bisa menandingi kebahagiaan buah dari keridhaan?

Jika sumber terakhir yang dijadikan dasar, soal materi, pengakuan, penghargaan, dan prestise lebih sering mengikuti di kemudian hari. Jikalau tak beroleh keempat-empatnya sekalipun, hatinya tetap bahagia, hidupnya terasa bermakna karena ia memenangkan Alloh dari dunia dan segala isinya. Semangatnya tak pernah lekang dimakan zaman. Semangatnya tak pernah surut, meski (perolehan) materi tak pernah menghampirinya barang sejenak.

Semangat inilah yang dipunya oleh generasi pilihan umat. Semangatnya tumbuh, antara lain, dalam pribadi Imam Bukhari dan Imam Muslim yang mampu mengumpulkan ribuan hadits shahih. Semangat yang ada dalam diri Imam Syafi'i yang mampu menghafal ribuan hadits dan merumuskan ribuan fatwa. Ada dalam diri Ibnu Katsir yang mampu menulis berjilid-jilid kitab tafsirnya, sebagaimana Ibnu Hajar Al-Atsqolani mampu melahirkan kitab Syarah Shahih Bukhari yang ketebalannya mengagumkan itu. Semangat itu juga menjelma dalam diri Imam Al-Ghazali sehingga dapat melahirkan kitab Ihya' Ulumiddin yang sangat fenomenal.

Semangat mereka luar biasa. Hasilnya karya mereka sungguh mempesona. Mereka sedemikian produktif menulis berlembar-lembar karya tulis padahal zamannya belum ada pena yang tintanya terus mengalir, belum ada mesin tik, belum ada komputer apalagi laptop dan PDA.

Dari sisi materi apa yang mereka peroleh? Mereka hampir-hampir sepi dari kekayaan duniawi. Imam Syafi'i yang terlahir miskin dan yatim sampai harus menegaskan keadaannya: "Aku rasa kecerdasanku akan memberikanku kekayaan yang melimpah," kata beliau. "Tapi," katanya lagi, "setelah aku mendapatkan ilmu ini, sadarlah aku bahwa ilmu ini tidak boleh dituntut untuk mendapatkan dunia. Ilmu ini hanya akan kita peroleh jika dituntut ia untuk kejayaan akhirat." (diambil dari Serial Kepahlawanan, M. Anis Matta, di Majalah Tarbawi, Edisi 59, 15 Mei 2003).

Itulah pilihan (semangat) Imam Syafi'i, demikian juga dengan ulama-ulama yang tersebut di atas. Mereka sadar ilmu agama mereka tidak berada dan tidak boleh berada pada pusaran harta duniawi. Mereka memenangkan akhirat (ridha Ilahi) di atas harta duniawi. Mereka adalah orang-orang miskin yang terhormat. Sebab kemiskinan bagi mereka adalah pilihan hidup, bukan akibat ketidakberdayaan. Pilihan, akibat memenangkan akhirat di atas segalanya.

Mereka memang sepi dari harta duniawi, tapi jangan tanya peran dan jasa mereka bagi generasi umat setelah mereka. Mereka meninggalkan warisan yang tak pernah putus manfaatnya bagi umat manusia. Mereka pun beroleh pahala yang tak pernah putus dihadang kematian - pahala dari ilmu yang bermanfaat.

Posisi hati mereka benar. Dasar pijakannya pun benar. Sehingga semangat mereka tak pernah padam. Mereka bekerja karena panggilan jiwa (calling). Panggilan untuk memenuhi ridha Ilahi. Atas dasar itu, hidup mereka bertabur kemuliaan dunia dan akhirat.

Orang Hebat Hidup Bertabur Manfaat


Ada satu hadits Nabi yang sangat populer berbunyi: khairun nas anfa'uhum lin nas. Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak mafaatnya bagi sesamanya. Hadits ini disampaikan dengan bahasa yang sangat positif (positive talk). Pertama, kata khairun nas berarti "yang terbaik diantara manusia." Kedua, kata anfa'uhum berarti "yang paling bermanfaat."

Paling bermanfaat. Meskipun kita tahu tidak ada yang dapat meraih kesempurnaan dalam hal apapun - termasuk kemanfaatan dirinya - bunyi hadits itu mendorong setiap orang untuk menjadi yang "ter" diantara sesamanya. Inilah bahasa motivasi. Selalu ada - baik tersurat maupun tersirat - muatan: Pertama, isyarat kesempurnaan sebagai patokan tujuan. Kedua, supaya isyarat itu lebih menggerakkan diadakan kesan kompetisi (fastabiqul khairat). Sehingga kesempurnaan yang dimaksud bersifat relatif (dibandingkan) diantara sesamanya (manusia) dalam hal-hal yang positif.

Bagimana menjadi orang yang "ter" atau "paling bermanfaat"? Pertama, niat menjadi orang yang paling bermanfaat. Niat adalah posisi hati pada pekerjaan yang dimaksud. Niat, lalu menjadi orientasi. Makanya, niat menjadi sangat personal bagi setiap orang. Inilah ekspresi personal statement yang paling dasar - dan juga fundamental - bagi setiap orang. Masih ingat hadits Innamal a'mal bin niyat....dst? Betapa niat, disinyalir di hadits itu, dapat menentukan hasil - bahkan sebelum prosesnya berjalan.

"Menjadi orang bermanfaat", dengan demikian, harus menjadi pernyataan diri. Inilah pernyataan misi (mission statement) kita di awal kita memperoleh kesadaran/pencerahan diri (personal enlightment). Contoh teknis misi (ingin) menjadi orang bermanfaat: Saya adalah hamba Alloh yang berpendidikan, cerdas, dan prestatif yang bertekad untuk selalu belajar dan berbuat baik kepada sesama dengan cara memberdayakan masyarakat di sekitar saya. Niat - pernyataan misi - ini harus mengendap sampai alam bawah sadar sehingga mudah tergerak untuk menjadi (being).

Kedua, kemanfaatan lahir dari semua kebaikan. Lakukan semua yang baik dengan cara-cara yang benar. Kebaikan adalah kata kerja. Dia tidak perlu disebut berulang-lang, cukup difahami dan dilaksanakan. Prosesnya: menemukan, mengembangkan, dan menyebarkan. Temukan satu, dua, tiga, dst pekerjaan yang baik. Lalu kembangkan pekerjaan itu. Dan orientasikan untuk peningkatan kualitas insani orang banyak – untuk peningkatan wawasan, keterampilan, kesejahteraan, kebahagiaan, dll. Dengan begitu, penemu (ilmuwan-peneliti), industrialis yang mengembangkan produk - yang niatnya tidak hanya laba, distributor, dst menjadi orang-orang yang beroleh kemanfaatan diri.

Pegiat ilmu - ilmu apapun dari ilmu eksak, sosial humaniora, agama, dll - yang mau menyebarkan ilmunya untuk diamalkan, dimanfaatkan, dan atasnya lahir kemanfaatan yang lain juga masuk sebagai orang-orang yang beroleh kemanfaatan diri. Pengajar, dosen, juru suluh, juru dakwah, asatidz, penulis, dll masuk dalam golongan ini. Tidak terbatas pada dua hal itu. Intinya semua hasil karya yang dapat meningkatkan kualitas insani untuk sebanyak-banyaknya orang - itulah yang dinilai sebagi amal yang bermanfaat. Dan pelakunya adalah orang yang bermanfaat hidupnya. Tidak harus profesi, pekerjaan, status formal, yang penting mendatangkan manfaat.

Setelah kita memahami esensi aktivitas-peran yang mendatangkan manfaat, lalu bagaimana kita menjadi yang paling bermanfaat dalam berbagai aktivitas-peran itu? Caranya adalah dengan memosisikan diri secara benar dan tepat. Pertama, jadilah yang pertama (be the first) atau pengambil inisiatif atas segala bentuk perbuatan baik. Kedua, jadikan inisatif perbuatan baik itu benar-benar berkualitas dan prestatif. Usahakan setiap perbuatan baik bernilai optimal - vertikal untuk mendapatkan ridho-Nya, horisontal manfaatnya sampai pada orang-orang yang membutuhkan. Dan ketiga, the power of concistency. Konsisten melakukan perbuatan baik sehingga menjadi kebiasaan dan mengkarakter. Show habit reap character. Jangan lakukan, di satu sisi kehidupan kita berbuat baik, pada saat yang bersamaan, di sisi lain kita berbuat buruk atau tercela. Konsistenlah!

Menjadi paling bermanfaat. Inilah motivasi orang hebat. Mereka tak pernah berhenti mencari-cari peluang amal kebaikan. Ketika dapat, mereka jadi orang pertama yang mengambil pekerjaan itu. Bekerjanya bukan setengah hati, bukan pula mengharap puji, tapi dengan kesungguhan sehingga berkualitas dan bertabur prestasi. Orang-orang pun merasakan manfaat darinya. Orang hebat sadar, pekerjaannya harus berujung manfaat buat masyarakat. Manfaat yang tidak biasa, tapi luar biasa!