Kamis, September 04, 2008

Taqwa dan Kecerdasan


بسم الله الرحمن الرحيم

Masih amat membekas di benak kita kisah tentang keteladanan seorang penggembala kambing di zaman Khalifah Umar ra. Inilah sosok pemuda yang akan terus menjadi ‘icon’ dakwah sepanjang masa. Betapa tidak, di tengah himpitan dan kerasnya pergulatan hidup ini tidak sekeping pun dari keimanannya, keyakinannya digadai, ditukar atau bahkan dijual demi mendapatkan kenikmatan hidup yang sesaat ini.

Yang menarik dari kisah ini adalah kata kunci yang menjadi eye catching dari keseluruhan kisah ini yaitu “fa aina Allah?”. Kalimat sederhana itu mengalir dari lidah tegar penuh optimis seorang mukmin sejati. Kalimat “fa aina Allah”’ itu tidak dialamatkan untuk mencuri perhatian Khalifah Umar RA atau sengaja ditujukan untuk mencari muka –carmuk—seperti yang sering dipertontonkan kebanyakan masyarakat di negeri ini saat kunjungan para pejabat ke mereka. Dia tidak lahir begitu saja, akan tetapi kalimat spektakuler ini dilafalkan dari sanubari hati yang paling dalam karena mahabbah kepada Allah SWT.

Demikianlah sikap kita dalam menjalani kehidupan dakwah ini. Sepanjang kultur “fa aina Allah” telah meresap dalam-dalam pada diri kita, inilah modal awal kita membangun optimisme dakwah. Bayangkan, seorang penggembala kambing yang hidup di tengah gurun, jauh dari pantauan siapa pun, tidak tersentuh teknologi tinggi –350 tahun lalu—mampu merekonstruksi ma’iyatullah begitu indah.

Sudah barang tentu tidak sulit bagi kita merekonstruksi dan menghayati nilai-nilai ma’iyatullah di era teknologi informasi sekarang ini. Allah SWT sudah pasti dan selalu menyertai hamba-hamba-Nya yang beramal, bergerak, berjuang, dan berjihad demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin. Keyakinan ini sudah selayaknya menghujam pada diri kita, “Intanshurullah yanshurkum wa yutsabbit aqdamakum.” (Q.S. 47/Muhammad: 10); “Alladziina jaahadu fiina lanahdiyannahum subuulana wa innalaaha la ma’al muhsinin .”(Q.S. 29/Al-Ankabut: 29).

Ibadah à Tujuan à Mendidik Mu’min à Muttaqi à QS. 2 : 183, QS. 49 : 13, QS. 7 : 96.

MUTTAQI: Orang yang memiliki kecerdasan:

Þ Intelektual

Þ Emosional à SUKSES/BAHAGIA


Þ Spiritual

Þ Sosial DUNIA AKHIRAT

Þ DSB

1. Intelektual

à Ibadah mengajarkan à Hakikat & Tujuan hidup à Mengabdi kepada Allah SWT.

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ s: اِبْن آدَمَ أَطِعْ رَبَّكَ فَتُسَمَّى عَاقِلاً وَلاَتَعْصِهِ فَتُسَمَّى جَاهِلاً.{رواه أبو نعيم عن أبى هريرة}.

“(Wahai) Anak Adam, taatlah engkau pada Tuhanmu niscaya engkau akan disebut sebagai orang yang berakal (cerdas), dan janganlah engkau berbuat ma’shiyyat kepada-Nya, maka engkau akan disebut sebagai orang yang bodoh”. (HR. Abu Na’im dari Abu Hurairah).

TAAT à Cerdas

MA’SHIYYAT à Bodoh

Mengajarkan tadabbur ayat

à Ibadah Menuntut Ilmu

Melaksanakan pekerjaan dengan optimal

2. Emosional

à Ibadah à Sabar à الصَّوْمُ جُنَّةٌ (Puasa itu adalah perisai).

à Ibadah à Mampu mengendalikan diri

إِذَا شَتَمَكَ أَحَدٌ فَلْيَقُلْ إِنِّى صَائِمٌ

Seseorang marah tanpa sebab: Dijawab “Saya Sedang Berpuasa”

3. Spiritual

à Shaum mengajarkan Kedekatan dengan Allah

Keyakinan akan pengawasan Allah

Kejujuran

Kekuatan Kalbu untuk mengendalikan hawa nafsu.

Kekuatan ذِكْرُ اللهِ التسبيخ التحميد التهليل الدعاء

4.

Ibadah, seperti shaum, shalat, haji, dsb mengajarkan.

Sosial

à Kepekaan & Tanggungjawab Sosial

Kasih sayang Kepada قوم ضعفاء

Kesediaan berkorban untuk à Masyarakat

Ukhuwwah dan Jama’ah

DSB

Tidak ada komentar: