بسم الله الرحمن الرحيم
Kedudukan dan fungsi Al-Qur’an
Allah SWT menciptakan manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Di samping itu Dia juga memberikan bekal kepada manusia dengan bekal yang memandunya supaya dapat menjalankan tugas kekhalifahan, yakni Al-Qur’an Al-Karim.
Al-Quran adalah pedoman hidup manusia dalam mengarungi tugas kekhalifahannya di muka bumi, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 185. Namun demikian, yang mampu mengambilnya sebagai petunjuk hanyalah orang-orang yang bertaqwa (lihat Q.S. 2/Al-Baqarah : 2).
Asy-Syahid Hasan Al-Banna pernah mengungkapkan bahwa sikap kebanyakan manusia di masa-masa sekarang ini terhadap kitab Allah SWT ibarat manusia yang diliputi dengan kegelapan dari segala penjuru. Berbagai sistem telah bangkrut, masyarakat telah hancur, nasionalisme telah jatuh. Setiap kali manusia membuat sistem baru untuk diri mereka, segera sistem itu hancur berantakan. Hari ini, manusia tidak mendapatkan jalan selain berdoa, bersedih, dan menangis. Sungguh aneh, karena di hadapan mereka sebenarnya terdapat Al-Qur’an, cahaya sempurna.(Hadits Tsulatsa/23-24)
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Qur'an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Q.S. 26/Asy-Syu’araa: 52)
Dalam ayat ini Allah SWT menyebutkan Al-Qur’an sebagai ruh yang berfungsi menggerakkan sesuatu yang mati, mencairkan kejumudan, dan membangkitkan kembali semangat umat sehingga ia bisa menunaikan tugas kekhalifahannya dengan sebaik-baiknya.
Interaksi dengan Al-Qur’an
Allah SWT menjanjikan bagi orang-orang yang berinteraksi dengan Al-Qur’an akan mendapatkan kemuliaan. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?” (Q.S. 21/ Al-Anbiyaa: 10)
Interaksi ini harusnya dilakukan secara utuh baik secara tilawatan (menguasai cara membacanya sesuai dengan kaidah tajwid dan mampu membacanya di waktu siang maupun malam), fahman (memahami kandungan ayat-ayat yang dibaca), amalan (kemampuan mengamalkan Al-Qur’an dalam kehidupan/membumikan Al-Qur’an) maupun hifzhan (kemampuan menghafalkan ayat-demi ayat Al-Qur’an).
Itulah empat bentuk interaksi yang diinginkan Al-Qur’an kepada setiap Muslim.
Upaya membangun ruh Al-Qur’an bagi kaum muslimin dan kiat-kiatnya
Agar bisa berinteraksi kembali dengan Al-Qur’an, maka perlu disadarkan kembali kewajiban-kewajiban kita di hadapan Al-Qur’an.
Asy-Syahid Hasan Al-Banna mengungkapkan beberapa kewajiban Muslim terkait dengan Al-Qur’an yaitu :
1. Seorang Muslim harus memiliki keyakinan yang sungguh-sungguh dan kuat bahwa tidak ada yang dapat menyelamatkan kita kecuali sistem sosial yang diambil dan bersumber dari kitab Allah SWT. Sistem sosial apa pun yang tidak mengacu atau tidak berlandaskan kepada Al-Qur’an pasti akan menuai kegagalan.
2. Kaum Muslimin wajib menjadikan kitab Allah sebagai sahabat karib, kawan bicara, dan guru. Kita harus membacanya. Jangan sampai ada hari yang kita lalui sedangkan kita tidak menjalin hubungan dengan Allah SWT melalui Al-Qur’an.
Demikianlah keadaan para pendahulu kita, kaum salaf. Mereka tidak pernah kenyang dengan Al-Qur’anul Karim. Mereka tidak pernah meninggalkannya. Bahkan mereka mencurahkan waktunya untuk itu. Sunnah mengajarkan agar kita mengkhatamkannya tidak lebih dari satu bulan dan tidak kurang dari tiga hari. Umar bin Abdul Aziz apabila disibukkan oleh urusan kaum Muslimin, beliau mengambil mushaf dan membacanya walaupun hanya dua atau tiga ayat. Beliau berkata, “Agar saya tidak termasuk mereka yang menjadikan Al-Qur’an sebagai sesuatu yang ditinggalkan.”
3. Ketika membaca Al-Qur’an kita harus memperhatikan adab-adab membacanya. Demikian pula saat kita mendengarkan Al-Qur’an harus memperhatikan adab-adabnya. Hendaklah kita berusaha merenungkan dan meresapinya.
Setelah kita mengimani bahwa Al-Qur’an adalah satu-satunya penyelamat, kita wajib mengamalkan hukum-hukumnya, baik dalam tingkatan individu maupun hukum-hukum yang berkaitan dengan masyarakat atau hukum-hukum yang berkaitan dengan penguasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar