Spiritualoleh orang kebanyakan sering dikaitkan dengan agama. Aksentuasi yang paling tepat dari istilah ini sesungguhnya terkait dengan aspek pemaknaan atas segala sesuatu. Sehingga apapun agamanya, pemaknaan selalu dapat muncul atau dimunculkan sebagai sebuah spirit kehidupan. Meskipun kalau kita kaji lebih dalam, pemaknaan tertinggi akan selalu menempatkan Sang Causa Prima, pada puncaknya. Dan untuk itu beribadah (dalam arti ritual) menjadi bagian dari kebutuhan spiritual.
Spiritual. Inilah puncak tertinggi capaian pemenuhan kebutuhan manusia. Stephen R. Covey menengarai empat kebutuhan berdasarkan tingkatannya: to life (hidup), to love(mencinta/bersosial), to learn (belajar), dan puncak tertinggi to leave a legacy (bermakna/spiritual). Jauh sebelum Covey, Abraham Maslow membuat hirarki kebutuhan manusia. Dimulai dari dasar: kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan untuk mencinta, kebutuhan akan penghargaan, dankebutuhan akan aktualisasi diri. Di buku diktat, itulah lima tingkatan kebutuhan Maslow. Namun menjelang ajalnya menjemput, tidak banyak orang yang tahu kalau dia menambahkan satu tingkat tertinggi, yakni kebutuhan transendensi (kebutuhan spiritual).
Baik Maslow maupun Covey sadar betul menempatkan Spiritual sebagai puncak kebutuhan. Karna spiritual terkait dengan aspek-aspek pemaknaan, hidup bertujuan, berintegritas dan memiliki sumbangan/warisan (hidup bermanfaat). Ia tidak lagi hanya berkutat pada diri, tapi sekaligus pada diri-diri di luar sana, pada kemanusiaan universal, dan pada peradaban. Sangat jelas dalam Hirarki Maslow, lima kebutuhan sebelumnya berorientasi pada diri, sementara Transendensi melepaskan semua atribut diri untuk masuk pada atribut-atribut pengabdian, pengorbanan, dan sumbangan.
Dalam bahasan tentang Spiritual Intelligence (Spiritual Quotient, SQ), bahkan oleh pencetusnya pertama kali, Danah Zohar dan Ian Marshall, (Kecerdasan) Spiritual disebut sebagai The Ultimate Intelligence. Apa dasarnya? "SQ is the necessary foundation for the effective functioning of both IQ and EQ," ungkap Danah Zohar dan Ian Marshall dalam bukunya itu. Berbeda dengan IQ (kemampuan untuk belajar dan mencipta) dan EQ (kemampuan bersosial) yang lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan fisik dan emosional, SQ memenuhi kebutuhan jiwa (soul). Jika IQ bersandarkan pada nalar, rasio, intelektual, sementara EQ pada emosi, maka hakikat sejati SQ disandarkan pada the soul's intelligence. Ia membangkitkan pusat dari kesadaran setiap insan. Pusat penentu pilihan baik atau buruk - benar atau salah, HATI.
Karena itu, mengutip Sukidi dalam New Age, Wisata Spiritual Lintas Agama (2001), pekik SQ adalah suara hati (conscience). Suara yang paling jernih dalam hiruk pikuk kehidupan kita, yang tidak bisa ditipu oleh siapapun, termasuk diri kita sendiri. Kebenaran sejati terletak pada conscience ini. Karena itu SQ menyingkap kebenaran sejati yang lebih sering tersembunyi (hidden truth) di tengah adegan-adegan hidup yang serba palsu dan menipu. Kodrat SQ adalah fitrah yang selalu dalam kondisi - istilah penganut filsafat eksistensialisme -"the peace of the all sufficient." Inilah kiranya yang disebut sebagai nafsu al muthmainnah. Jiwa yang damai dan tenang, yang bisa menjalin kontak spiritual dengan Ilahi Rabbi. Hingga Alloh bersenandung indah kepadanya: "ya ayyatuhan nafsul mutmainnah. irji'i ila rabbiki raadhiyatan mardiyyah. fadkhuli fi 'ibadii wadkhulii jannatii (al-Fajr: 27-30).
Selanjutnya ekspresi SQ itu dipantulkan dalam etika sosial. Bersumber pada kesadaran hati. Mengikat makna kejadian-kejadian setiap hari. Lalu tergerak untuk berkontribusi. Membuat dan meninggalkan warisan kepada makhluk di bumi. Inilah puncak kesadaran diri. Kesadaran untuk menebar makna sepanjang masa melampaui batas usia yang ditentukan-Nya. Dan orang hebat punya kesadaran itu. Kesadaran untuk mempertajam mata spiritualnya (eye of the heart).
Sering saya bertanya pada diri saya sendiri, apa jadinya saya kelak - beberapa puluh tahun mendatang? Pertanyaan yang sama sering saya ajukan kepada teman-teman saya, apa 'the end'-nya seorang Dinda, Anwar, Indah, misalnya, dst. The end yang saya maksud adalah kondisi relatif seseorang dalamjangka waktu tertentu di masa datang, bisa status, pekerjaan, kepemilikan, kepribadiaan, dan kualitas-kulaitas insani lainnya. Mungkin seorang SBY tidak pernah menyangka kalau dirinya pada akhirnya dinobatkan menjadi presiden RI ke-6. Bahkan wakilnya, Jusuf Kalla konon hanya bercita-cita menjadi Lurah di kampungnya. Nah, presiden untuk SBY dan wapres untuk JK inilah yang menjadi pertanyaan/pernyataan 'the end' keduanya pada masa lalu. Sekarang (present) mereka sudah menjadi presiden dan wakil presiden RI ke-6. Dulu - sama dengan kita sekarang - mereka mungkin juga bertanya-tanya: apa jadinya saya kelak?
Apa yang kita bicarakan di atas, itulah ruang mimpi, cita-cita, harapan, atau keinginan setiap orang. Semua orang punya itu. Akan tetapi respon tiap-tiap orang berbeda untuk setiap ruang yang mereka punya. Ada yang membiarkan saja ruang itu tanpa rencana - tanpa cita-cita. Motto mereka kira-kira begini: biarkan hidup mengalir. Ada yang berencana - bercita-cita, tapi alakadarnya saja. Tidak muluk-muluk, kata mereka. Ada yang sengaja, sadar, dan sungguh-sungguh mememenuhi ruang itu dengan berjuta mimpi yang luar biasa. Yang pasti, apapun respon anda, itulah pilihan anda. Sepenuhnya anda mengontrol ruang-ruang itu.
Pilihan orang hebat adalah pilihan yang terakhir. Mereka memilih untuk memenuhi ruang itu dengan mimpi yang tidak biasa - luar biasa! Mereka sepenuhnya sadar kata-kata berikut: You are what you think. Wether you think you can, you can. If you can dream it, you can do it. Mereka sadar bahwa mereka adalah produk dari pikiran-pikiran mereka sendiri. Hingga Norman Vincent Paele khusus membuatkan buku untuk mereka berjudul The Power of Positive Thinking.
Setalah mimpi, cita-cita, dan rencana, orang hebat memenuhi hidupnya dengan komitmen pelaksanaan. Mereka kembali sadar bahwa hidup tak sekedar mimpi. Hidup adalah rangkaian aksi yang berulang-ulang hingga sampai pada perwujudan mimpi itu. Setelah mimpi, lalu take action. Dengan cara ini orang-orang hebat menggenggam dan memenuhi nasibnya.
Orang hebat punya komitmen. Komitmen adalah ketetapan hati untuk memenuhi janji. Ketetapan hati untuk meluangkan waktu, pikiran, tenaga, harta, bahkan nyawa untuk menepati janjinya: menepati mimpi, cita-cita, harapan, dan keinginannya. Mereka sadar untuk menerjemahkan apa yang dikatakan Hasan Al-Banna, Hari ini adalah mimpi kita kemarin. Hari esok adalah mimpi kita hari ini, menjadi, Hari ini adalah komitmen kita kemarin. Hari esok adalah komitmen kita hari ini. Mereka sadar ada jembatan antara mimpi dan kenyataan, antara rencana dan tindakan, yaitu komitmen.
Anthony Robin memenuhi komitmennya mencetak jutaan dolar, menggelar training masal yang sensasional, padahal dia berangkat dari tukang pel sebuah restoran. Di usia yang ke-50 kelak, dia berniat mencalonkan diri menjadi presiden Amerika Serikat. Purdi Candra memenuhi komitmennya menjadi kaya harta dan usaha meski memilih drop out dari bangku kuliahnya di UGM. Ia sekarang bos sekaligus pemegang francise Lembaga Bimbingan Belajar Primagama, beberapa restoran, jasa travel agent, bisnis property, hotel, dsb.
Andreas Harefa memenuhi komitmennya, Sukses Tanpa Gelar. Ia menjadi pengkritik paling tajam sistem sekolahan formal yang tidak memberdayakan siswa didik. Ia tak pernah memanfaatkan ijazah formalnya. Ia berkomitmen tak akan pernah melamar kerja. Dan itu ia buktikan. Sekarang ia bangga punya gelar baru WTS (singkatan dari Writer, Trainer, Speaker). Ia memenuhi undangan training berbagai perusahaan nasional dan multinasional. Produktivitasnya luar biasa. Bukunya puluhan jumlahnya, dan rata-rata best seller nasional.
Ada lagi, Aa Gym da'i sekaligus pengusaha muda yang luar biasa. Ia pernah menjadi tukang bakso semasa kuliah. Sekarang, jangan tanya kesuksesannya, ia menjadi trend setter pribadi yang mampu menggabungkan kehidupan dunia dan akhirat menjadi selaras. Ia punya pesantren virtual Daarut Tauhid yang sekaligus menjadi kerajaan bisnis beromset milyaran rupiah dengan berbagai lini usaha dari penginapan, supermarket, cafe, laundry, rekaman, penerbitan, jaringan pemasaran, sampai program televisi.
Mereka yang tersebut di atas adalah sedikit contoh dari orang-orang hebat yang sukses karena memenuhi komitmennya. Menjadi seperti mereka tidaklah susah. Caranya sederhana, yakni miliki keteguhan dan ketangguhan (adversity) dalam berusaha, dengan cara melihat kegagalan sebagai tangga-tangga kesuksesan, tidak mudah putus asa, serta profesional dan konsisten pada bidang usaha, aktivitas, dan pekerjaan yang diminati. Selamat mencoba!
Bagian ini merupakan kelanjutan dari bab terdahulu dengan judul Orang Hebat Sadar Diri. Sadar diri merupakan the end process dari upaya mengenal diri sendiri. Upaya ini merupakan perbuatan khas manusia. Hanya manusialah yang mempunyai keinginan dan mampu mengenal dirinya sendiri, serta memanfaatkan pengetahuanya itu untuk tujuan pengembangan pribadi. Dalam perspektif psikologis, pengenalan diri berarti pandangan realistis dan objektif seseorang tentang dirinya sendiri. Secara operasional pengenalan diri itu berbentuk usaha-usaha memperluas dan memperdalam kesadaran mengenai berbagai aspek, kesecenderungan, kekhususan diri sendiri dan lingkungannya, seperti kemampuan, sifat, sikap, minat, bakat, motif, pemikiran. perasaan, corak penyesuaian diri, dan makna hidup, baik yang telah teraktualisasi maupun yang masih merupakan potensi (Hanna Djumhana Bastaman, 1996)
Setiap orang, setiap saat, punya kesempatan untuk selalu mengenal dirinya, memperbaiki dirinya, dan menjadikan dirinya selalu baru - "A New Me." Pertama, melalui serangkaian aktivitas teratur secara individual berupa solo trainingatau sering dibahasakan sebagai self assessment. Aktivitasnya berupa perenungan secara mendalam tentang diri kita melalui aktivitas meditasi, bertafakur, i'tikaf, bertapa, retreat bagi kaum nasrani, dan sejenisnya. Orang hebat sering melakukan ini. Aktivitas yang tepat dibahasakan sebagai muhasabah an-nafsi. Caranya mudah: Luangkan waktu sejenak - dalam hening dan tenang. Hentikan aktivitas fisik. Pusatkan konsentrasi. Lalu mulailah latihan menganalisis diri sendiri, meninjau keadaan lingkungan, merenungkan kehidupan dan pengalaman-pengalaman pribadi, serta membuat rencana-rencana. Rangkaian aktivitas itu ditutup dengan komitmen pelaksanaan rencana.
Hari ini adalah komitmen hari kemarin. Hari esok adalah komitmen hari ini.
Orang hebat selalu memenuhi komitmennya.
- Danang A. Akbarona -
Yang kedua, selain merenung dalam ruang-ruang kesendirian dan keheningan, setiap orang berkesempatan hadir dalam ruang interaksi dengan orang lain. Bentukya bisa bermacam-macam: aktivitas organisasi, kerjasama, kerja profesional, pertemanan, dan lain-lain. Ruang ini bisa juga dimanfaatkan sebagai sarana mengenali diri -mengenal diri dengan cara membuka diri kepada orang lain. Dalam "Konsep Diri" dikenal tiga konsep aku, yakni: aku diri, aku sosial, dan aku ideal. Proses pengenalan diri dalam ruang-ruang kesendirian menghasilkan aku diri. Sementara proses pengenalan diri dalam ruang interaksi kita menghasilkan aku sosial. Keduanya saling pintal-memintal dengan aku ideal membentuk kosep diri seseorang.
Orang hebat, dalam rangka mengenal dirinya lebih dalam, membuka dirinya kepada orang lain. Orang hebat selalu berharap evaluasi orang lain, mengetahui penilaian orang lain, dan mendengar masukan dan apresiasi orang lain - dalam ruang interaksi sosialnya. Inilah bentuk perluasan kesadaran diri yang terjadi karena interaksi sosial seseorang. Atas dasar pemahaman terakhir, Luft dan Ingham, pakar psikologi kenamaan, mengemukakan prinsip Johari Window-nya. Prinsip Johari Window digambarkan sebagai sebuah bujur sangkar dengan empat kuadran yang menunjukkan daerah kepribadian seseorang.
Kuadran I disebut "Daerah Terbuka" (open area). Daerah ini mencakup hal-hal yang saya ketahui tentang diri saya dan juga diketahui oleh orang lain. Misalnya, saya mengetahui dan sadar bahwa saya pandai berorasi, dan orang-orang sekitar saya pun tahu bahwa saya pandai berorasi.
Kuadran II disebut "Daerah Buta" (blind area). Daerah ini mencakup hal-hal tentang diri saya yang tidak saya ketahui, tetapi orang disekitar saya mengetahuinya. Misalnya, saya tidak tahu dan tidak sadar bahwa kalau saya menanggapi pembicaraan orang lain sering menyakitkan hati, tetapi hal itu diketahui orang lain.
Kuadran III disebut "Daerah tertutup" (hidden area). Daerah ini mencakup hal-hal yang saya ketahui tentang diri saya, tetapi orang lain tidak mengetahuinya. Misalnya, saya mengetahui dan menyadari bahwa saya mempunyai suara merdu, tetapi orang lain di sekitar saya tidak mengetahui bahwa saya pandai menyanyi. Hal ini terjadi karena saya belum memberitahu mereka dan bernyayi di depan mereka.
Kuadran IV disebut "Daerah Gelap" (dark area). Daerah ini menacakup segala sesuatu tentang diri saya yang tidak saya ketahui dan juga tidak diketahui orang lain. Daerah ini sangat luas, mencakup potensi-potensi yang tak disadari (unconscious), tetapi pada suatu saat - biasanya dalam keadaan darurat - akan terungkap. Misalnya, dalam keadaan rumahnya terbakar kadang-kadang seorang pemilik rumah dapat mengangkat barang-barang yang dalam keadaan normal mungkin tak terangkat kerena beratnya.
Orang hebat melatih dirinya untuk memperluas Kuadran I dengan jalan memperkecil Kuadran II dan Kuadran III. Untuk memperluas Kuadran I diperlukan kesediaan untuk membuka diri (self disclosure) dan memberikan umpan balik (giving feedback) kepada orang lain. Orang hebat bersedia dan berani mengungkapkan secara sukarela segala sesuatu mengenai dirinya yang mungkin tidak diketahui orang lain. Usaha ini akan memperkecil Kuadran II. Demikian juga, orang hebat bersedia secara sukarela dan senang hati menerima umpan balik dari orang lain berupa tanggapan, kesan, pendapat, saran-saran yang bermanfaat dalam memperluas pengenalan dan kesadaran dirinya. Upaya ini akan memperluas Kuadran I dan, pada saat yang bersamaan, memperkecil Kuadran III. Sehubungan dengan itu diasumsikan bahwa Kuadran IV secara tak langsung turut menyempit dengan meluasnya Kuadran I.
Keterbukaan adalah kunci kesuksesan mengenali diri dan diri-diri orang lain. Orang hebat selalu menciptakan lingkungan sosial yang penuh dengan keterbukaan, kejujuran, dan saling percaya. Diawali dengan membuka diri kepada orang lain, menaruh kepercayaan pada orang lain, maka orang lain akan berlaku sama. Dengan demikian diharapkan akan muncul pandangan yang lebih objektif dan realistis atas diri sendiri untuk perubahan dan perbaikan.
Pernah menyaksikan film Pay It Forward? Film ini mengandung pesan moral melakukan kebaikan yang terencana setiap hari, sekecil apapun yang kita lakukan, secara konsisten, lalu menularkan kebaikan itu, kepada semua orang, yang belum pernah tersentuh oleh kebaikan yang sama. Jadilah aktivitas berbuat baik itu menjadi semacam 'multilevel marketing.' Maka, di film itu, satu inisiatif perbuatan baik - yang dilakukan oleh aktor utamanya; seorang anak - menyebar seantero kota, menjadi kegiatan kolektif. Di sana terkandung bermacam kekuatan. Kekuatan rencana (niat/isisiatif). Kekuatan konsistensi (istiqomah). Dan kekuatan teladan. Kekuatan yang terakhir akan kita jadikan atribut berikutnya dari orang-orang hebat.
Kekuatan teladan. Teladan mengandung dua unsur. Pertama, selalu fokus pada diri (starting from self). Inilah nama lain dari amal yang terlaksana. Tidak sekedar rencana. Bukan sekedar ucapan. Melainkan tindakan. Kedua, sang pemberi teladan sadar bahwa dirinya menjadi cermin pantul bagi sesamanya dan bagi masyarakatnya. Sehingga perbuatannya diusahakannya selalu bernilai positif, bermanfaat, dan progresif.
Kedua unsur itu membentuk kepribadian manusia-manusia hebat. Unsur pertama menjadikan mereka sibuk dengan upaya diri memaksimalkan potensi, bukan mengurusi kesalahan dan kelemahan orang, tapi abai pada kesalahan dan kelemahan diri sendiri. Sehingga pada masanya mereka tampil sebagai orang-orang yang memiliki pesona rasa, kata, dan karya yang terberdaya, yang layak dijadikan contoh bagi orang-orang disekitarnya. Unsur yang kedua sejatinya mendasari diri mereka untuk tetap dalam ruang etika universal yang mulia. Mereka sadar tidak hidup dalam ruang hampa. Mereka sadar hidup bersama. Dan karnanya mereka sadar ada misi penciptaan. Misi tentang keteraturan, kesejahteraan, dan kemakmuran dunia milik bersama.
Selanjutnya, teladan adalah perkara penciptaan karakter. Seperti halnya kepemimpinan. Bahkan, menurut saya, inilah aksen pertama dan yang paling utama dalam domain (konsep) kepemimpinan. Per defenisi, kepemimpinan adalah seni mempengaruhi orang lain untuk melakukan apa yang kita inginkan. Dan, mempengaruhi bukan memerintah, tidak pula memaksa. Mempengaruhi mengandung pesan kerelaan dan keikhlasan pada objek yang kita pengaruhi. Dan, jamak bagi kita, proses mempengaruhi menjadi semakin mudah dengan pemberian teladan. Seorang pemimpin yang rajin dan selalu tepat waktu dalam menghadiri pertemuan atau rapat-rapat, misalnya, akan menemukan karyawannya berlaku demikian juga. Mungkin awalnya karena segan dan takut pada atasan. Tapi, lama kelamaan akan terbiasa. Sebelum akhirnya menjadi karakter. Kata Stephen R. Covey dalam Seven Habit : "Taburlah gagasan. Petiklah perbuatan. Taburlah perbuatan. Petiklah kebiasaan. Taburlah kebiasaan. Petiklah karakter. Taburlah karakter. Petiklah nasib."
Dengan demikian, teladan adalah jalan pemimpin. Sementara, orang hebat selalu berpeluang (dan berkeinginan) menjadi manusia-manusia pemimpin. Pemimpin bukan dalam arti posisi dan jabatan, tapi dalam arti tindakan. Leadership is not a position, but is an action. Orang hebat memilih jalan keteladanan. Dengan memaksimalkan potensi, memperbaiki diri, dan kesadaran memberikan yang terbaik bagi masyarakatnya, orang hebat sedang membangun peradaban. Dimulai dari diri sendiri. Dimulai dari yang kecil. Dan dimulai sekarang juga.
Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku
hanya untuk AllohTuhan semesta alam.
al-An'am: 162
Semangat dalam pengertian umum digunakan untuk menengarai minat yang menggebu, kegigihan, dan pengorbanan untuk meraih tujuan tertentu. Semangat melazimkan pengorbanan atas apa yang dimiliki - berupa materi, tenaga, pikiran, bahkan jiwa - untuk memenuhi apa yang diinginkan.
Seorang siswa gigih belajar hingga larut malam, berhari-hari, dan tak kenal lelah untuk memenuhiharapannya lulus UMPTN dan diterima di perguruan tinggi idaman. Seorang politisi tak kenal lelah senggol kanan-kiri, melakukan lobi-lobi, demi sebuah prestise berrnama kekuasaan, dst. Itulah semangat, itulah antusiasme, dalam sebagian fragmen kehidupan kita.
Yang akan kita bicarakan dalam bagian ini adalah semangat orang hebat. Semangat yang bertabur kemuliaan. Kemuliaan buah dari amal shaleh yang berdampak luas bukan hanya bagi dirinya pribadi, tapi juga bagi umat manusia dan kehidupan. Orang hebat bersemangat dalam amal yang terakhir disebut. Semangat mereka kekal dan abadi karena mereka mendasarkan tujuan dan pengharapan pada posisi yang benar - pada dzat yang kekal dan abadi, Tuhan Illahi Rabbi.
Inilah sumber motivasi yang menghasilkan kemuliaan. Meski kita kenal sumber-sumber lain berbentuk materi, pengakuan, penghargaan, prestise, semuanya bersifat sementara. Materi, siapa bisa jamin tetap dalam genggaman kita. Mungkin hari ini kita di atas bergelimang kekayaan. Esok hari bisa jadi kita di bawah bergumul dengan kemiskinan. Hari ini dipuji. Lain hari bisa jadi kita dimaki. Hari ini beroleh penghargaan. Kapan hari ada masanya kita dalam penghinaan, dst. Berharap kaya, harus siap miskin. Berharap pengakuan, harus siap dengan penolakan/pelecehan. Berharap penghargaan, harus siap dengan penghiaan, dst.
Mendasarkan semangat diri pada hal-hal di atas, berarti harus bersedia menerima kekecewaan. Semangat mudah sekali kendur. Semangat sangat mungkin luntur dengan cepat, secepat membalikkan telapak tangan. Lain halnya jika semangat didasarkan pada keridhaan Tuhan. Keridhaan-Nya kekal. Maka, semangatpun tak mengenal anfal. Ridha-Nya membuat hati kita ridha. Hati yang ridha tak mengenal sesal dan kecewa. Yang tersisa darinya hanyalah luasnya samudera penerimaan. Buahnya tentu saja kebahagiaan. Apa yang bisa menandingi kebahagiaan buah dari keridhaan?
Jika sumber terakhir yang dijadikan dasar, soal materi, pengakuan, penghargaan, dan prestise lebih sering mengikuti di kemudian hari. Jikalau tak beroleh keempat-empatnya sekalipun, hatinya tetap bahagia, hidupnya terasa bermakna karena ia memenangkan Alloh dari dunia dan segala isinya. Semangatnya tak pernah lekang dimakan zaman. Semangatnya tak pernah surut, meski (perolehan) materi tak pernah menghampirinya barang sejenak.
Semangat inilah yang dipunya oleh generasi pilihan umat. Semangatnya tumbuh, antara lain, dalam pribadi Imam Bukhari dan Imam Muslim yang mampu mengumpulkan ribuan hadits shahih. Semangat yang ada dalam diri Imam Syafi'i yang mampu menghafal ribuan hadits dan merumuskan ribuan fatwa. Ada dalam diri Ibnu Katsir yang mampu menulis berjilid-jilid kitab tafsirnya, sebagaimana Ibnu Hajar Al-Atsqolani mampu melahirkan kitab Syarah Shahih Bukhari yang ketebalannya mengagumkan itu. Semangat itu juga menjelma dalam diri Imam Al-Ghazali sehingga dapat melahirkan kitab Ihya' Ulumiddin yang sangat fenomenal.
Semangat mereka luar biasa. Hasilnya karya mereka sungguh mempesona. Mereka sedemikian produktif menulis berlembar-lembar karya tulis padahal zamannya belum ada pena yang tintanya terus mengalir, belum ada mesin tik, belum ada komputer apalagi laptopdan PDA.
Dari sisi materi apa yang mereka peroleh? Mereka hampir-hampir sepi dari kekayaan duniawi. Imam Syafi'i yang terlahir miskin dan yatim sampai harus menegaskan keadaannya: "Aku rasa kecerdasanku akan memberikanku kekayaan yang melimpah," kata beliau. "Tapi," katanya lagi, "setelah aku mendapatkan ilmu ini, sadarlah aku bahwa ilmu ini tidak boleh dituntut untuk mendapatkan dunia. Ilmu ini hanya akan kita peroleh jika dituntut ia untuk kejayaan akhirat." (diambil dari Serial Kepahlawanan, M. Anis Matta, di Majalah Tarbawi, Edisi 59, 15 Mei 2003).
Itulah pilihan (semangat) Imam Syafi'i, demikian juga dengan ulama-ulama yang tersebut di atas. Mereka sadar ilmu agama mereka tidak berada dan tidak boleh berada pada pusaran harta duniawi. Mereka memenangkan akhirat (ridha Ilahi) di atas harta duniawi. Mereka adalah orang-orang miskin yang terhormat. Sebab kemiskinan bagi mereka adalah pilihan hidup, bukan akibat ketidakberdayaan. Pilihan, akibat memenangkan akhirat di atas segalanya.
Mereka memang sepi dari harta duniawi, tapi jangan tanya peran dan jasa mereka bagi generasi umat setelah mereka. Mereka meninggalkan warisan yang tak pernah putus manfaatnya bagi umat manusia. Mereka pun beroleh pahala yang tak pernah putus dihadang kematian - pahala dari ilmu yang bermanfaat.
Posisi hati mereka benar. Dasar pijakannya pun benar. Sehingga semangat mereka tak pernah padam. Mereka bekerja karena panggilan jiwa (calling). Panggilan untuk memenuhi ridha Ilahi. Atas dasar itu, hidup mereka bertabur kemuliaan dunia dan akhirat.
Ada satu hadits Nabi yang sangat populer berbunyi: khairun nas anfa'uhum lin nas. Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak mafaatnya bagi sesamanya. Hadits ini disampaikan dengan bahasa yang sangat positif (positive talk). Pertama, kata khairun nas berarti "yang terbaik diantara manusia." Kedua, kata anfa'uhum berarti "yang paling bermanfaat."
Paling bermanfaat. Meskipun kita tahu tidak ada yang dapat meraih kesempurnaan dalam hal apapun - termasuk kemanfaatan dirinya - bunyi hadits itu mendorong setiap orang untuk menjadi yang "ter" diantara sesamanya. Inilah bahasa motivasi. Selalu ada - baik tersurat maupun tersirat - muatan: Pertama, isyarat kesempurnaan sebagai patokan tujuan. Kedua, supaya isyarat itu lebih menggerakkan diadakan kesan kompetisi (fastabiqul khairat). Sehingga kesempurnaan yang dimaksud bersifat relatif (dibandingkan) diantara sesamanya (manusia) dalam hal-hal yang positif.
Bagimana menjadi orang yang "ter" atau "paling bermanfaat"? Pertama, niat menjadi orang yang paling bermanfaat. Niat adalah posisi hati pada pekerjaan yang dimaksud. Niat, lalu menjadi orientasi. Makanya, niat menjadi sangat personal bagi setiap orang. Inilah ekspresi personal statement yang paling dasar - dan juga fundamental - bagi setiap orang. Masih ingat hadits Innamal a'mal bin niyat....dst? Betapa niat, disinyalir di hadits itu, dapat menentukan hasil - bahkan sebelum prosesnya berjalan.
"Menjadi orang bermanfaat", dengan demikian, harus menjadi pernyataan diri. Inilah pernyataan misi (mission statement) kita di awal kita memperoleh kesadaran/pencerahan diri (personal enlightment). Contoh teknis misi (ingin) menjadi orang bermanfaat: Saya adalah hamba Alloh yang berpendidikan, cerdas, dan prestatif yang bertekad untuk selalu belajar dan berbuat baik kepada sesama dengan cara memberdayakan masyarakat di sekitar saya. Niat - pernyataan misi - ini harus mengendap sampai alam bawah sadar sehingga mudah tergerak untuk menjadi (being).
Kedua, kemanfaatan lahir dari semua kebaikan. Lakukan semua yang baik dengan cara-cara yang benar. Kebaikan adalah kata kerja. Dia tidak perlu disebut berulang-lang, cukup difahami dan dilaksanakan. Prosesnya: menemukan, mengembangkan, dan menyebarkan. Temukan satu, dua, tiga, dst pekerjaan yang baik. Lalu kembangkan pekerjaan itu. Dan orientasikan untuk peningkatan kualitas insani orang banyak – untuk peningkatan wawasan, keterampilan, kesejahteraan, kebahagiaan, dll. Dengan begitu, penemu (ilmuwan-peneliti), industrialis yang mengembangkan produk - yang niatnya tidak hanya laba, distributor, dst menjadi orang-orang yang beroleh kemanfaatan diri.
Pegiat ilmu - ilmu apapun dari ilmu eksak, sosial humaniora, agama, dll - yang mau menyebarkan ilmunya untuk diamalkan, dimanfaatkan, dan atasnya lahir kemanfaatan yang lain juga masuk sebagai orang-orang yang beroleh kemanfaatan diri. Pengajar, dosen, juru suluh, juru dakwah, asatidz, penulis, dll masuk dalam golongan ini. Tidak terbatas pada dua hal itu. Intinya semua hasil karya yang dapat meningkatkan kualitas insani untuk sebanyak-banyaknya orang - itulah yang dinilai sebagi amal yang bermanfaat. Dan pelakunya adalah orang yang bermanfaat hidupnya. Tidak harus profesi, pekerjaan, status formal, yang penting mendatangkan manfaat.
Setelah kita memahami esensi aktivitas-peran yang mendatangkan manfaat, lalu bagaimana kita menjadi yang paling bermanfaat dalam berbagai aktivitas-peran itu? Caranya adalah dengan memosisikan diri secara benar dan tepat. Pertama, jadilah yang pertama (be the first) atau pengambil inisiatif atas segala bentuk perbuatan baik. Kedua, jadikan inisatif perbuatan baik itu benar-benar berkualitas dan prestatif. Usahakan setiap perbuatan baik bernilai optimal - vertikal untuk mendapatkan ridho-Nya, horisontal manfaatnya sampai pada orang-orang yang membutuhkan. Dan ketiga, the power of concistency. Konsisten melakukan perbuatan baik sehingga menjadi kebiasaan dan mengkarakter. Show habit reap character. Jangan lakukan, di satu sisi kehidupan kita berbuat baik, pada saat yang bersamaan, di sisi lain kita berbuat buruk atau tercela. Konsistenlah!
Menjadi paling bermanfaat. Inilah motivasi orang hebat. Mereka tak pernah berhenti mencari-cari peluang amal kebaikan. Ketika dapat, mereka jadi orang pertama yang mengambil pekerjaan itu. Bekerjanya bukan setengah hati, bukan pula mengharap puji, tapi dengan kesungguhan sehingga berkualitas dan bertabur prestasi. Orang-orang pun merasakan manfaat darinya. Orang hebat sadar, pekerjaannya harus berujung manfaat buat masyarakat. Manfaat yang tidak biasa, tapi luar biasa!
Dalam bukunya yang bagus Principle-Centered Leadership, Stephen R. Covey mengatakan bahwa setiap diri manusia dan organisasi memiliki prinsip sentris yang bila diaplikasikan secara baik dapat meningkatkan mutu dan produktivitas. Prinsip-sentris, kata Covey, merupakan satu pendekatan jangka panjang yang bersifat inside-out untuk mengembangkan manusia dan organisasi. Saya sependapat dengan Covey, prinsip adalah inti kekuatan untuk perubahan hidup yang lebih baik. Dengan berprinsip manusia bukan lagi sekedar seonggok daging yang bertulang. Lebih dari itu, manusia menjadi makhluk paling mulia dan berharga dari makhluk manapun.
Prinsip. Ia adalah ekspresi nilai yang harus dipegang teguh oleh setiap manusia beradab. Prinsip memberikan arah. Prinsip mendorong setiap orang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Prinsip adalah ukuran. Orang yang berprinsip adalah orang yang punya ukuran atas tindakan dan perbuatan yang dilakukannya. Dengan demikian, tidak bisa tidak, prinsip berbicara baik-buruk dan benar-salah. Prinsip mempertegas apa yang baik dan apa yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah.
Bagaimana prinsip bekerja? Salah satu ciri orang dewasa adalah bijaksana. Orang yang bijaksana adalah orang yang memiliki pertimbangan atas pilihan-pilihan hidupnya. Pertimbangan itu di dasarkan pada prinsip. Dan orang yang bijaksana selalu mendasarkan diri pada prinsip-prinsip yang baik dan benar. Karena mereka tahu, prinsip yang baik mendatangkan manfaat dan prinsip yang benar mendatangkan kebahagiaan. Apa yang dicari dalam hidup selain manfaat dan kebahagiaan? Itulah tujuan akhir orang-orang hebat. Mereka punya prinsip yang baik dan benar. Makanya, mereka selalu bermanfaat dan merasa bahagia hidupnya.
Bagaimana wujudnya prinsip? Tanpa sadar, komitmen kita, keyakinan kita, keberpihakan kita atas banyak hal, bahkan eksistensi kita di dunia ini mengandung prinsip yang harus kita pegang teguh. Islam itu prinsip. Iman itu prinsip. Orang yang ber-Islam harus taat pada serangkaian syari'at yang ditetapkan lewat kalam-Nya maupun lewat lisan nabi-Nya. Demikian juga, orang yang mengaku beriman harus memenuhi konsekuensinya: tidak menyekutukan-Nya, tidak bergantung kepada selain-Nya, dll. Apa ketentuan Alloh tentang hidup? Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah. Orang yang mengaku berislam dan beriman, mau tak mau, harus memenuhi prinsip ini (ibadah).
Ada hadits yang menjelaskan tiga tanda orang munafik: (1) Jika berbicara bohong. (2) Jika berjanji ingkar. Dan (3) jika dipercaya khianat. Mafhum mukholafah-nya, sifat jujur, tepat janji, dan amanah harus menjadi prinsip orang yang beriman. Kecuali dia mau menjadi orang munafik. Yang lain, misal, kita mendukung demokrasi. Inti dari demokrasi adalah kebebasan yang bertanggung jawab, kesetaraan, dan kesamaan. Kalau kita mau dibilang sebagai demokrat, ya kita harus berpegang pada tiga hal itu - untuk diri kita sendiri maupun sikap kita kepada orang lain. Tiga hal itulah yang menjadi prinsip demokrat, dll.
Orang hebat memahami komitmennya, keyakinannya, keberpihakannya terhadap banyak hal, dan hidup itu sendiri sebagai prinsip. Mereka berusaha mengendapkan dan menanamkan prinsip itu dalam hati. Sebelum mereka bertindak atau melakukan sesuatu, mereka selalu meminta nasihat hatinya. Mereka memenuhi apa yang dikatakan Nabi: Mintalah nasihat pada hatimuatas perbuatan kamu. Perbuatan jelek itu akan membuat hati tidak nyaman. Sedangkan perbuatan baik itu akan membuat hati tentram.
Orang hebat pantang menodai prinsipnya. Orang hebat pantang melukai hatinya. Mereka benar-benar memahami itulah cara dia hidup mulia. Seorang Gandhi, betapapun ia hidup sengsara, ia tetap menolak koloni terhadap bangsanya. Ia terus melawan dengan cara-cara (baca: prinsip) tanpa kekerasan meski banyak yang harus ia korbankan. Jauh sebelum Gandhi, kita punya teladan mulia, Muhammad saw. Imannya kepada Alloh membuatnya berani menentang penyembahan terhadap berhala-berhala. Padahal ritual itu jamak dilakukan orang-orang Quraisy pada masa itu. Ketika pamannya Abu Thalib menasehati Nabi untuk menghentikan risalah itu, apa kata Nabi? "Paman, demi Alloh, kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya aku meninggalkan risalah ini, sungguh tidak akan aku tinggalkan, biar nanti Alloh yang akan membuktikan kemenangan itu: di tanganku atau aku binasa karenanya."
Itulah keteguhan Muhammad saw dalam memegang prinsip. Prinsipnya mengendap di hati dan menggumpal menjadi keyakinan. Keyakinan membuatnya berani. Itulah prinsip yang terlaksana. Kita tentu ingin seperti beliau. Untuk itu saya tutup tulisan ini dengan pertanyaan Ali bin Abi Thalib kepada Nabi tentang prinsip yang beliau jadikan pegangan. Pahami kata-katanya satu persatu dan temukan rahasia kehebatan Muhammad saw.
Selalu ada satu saat di masa lalu ketika pintu terbuka, dan masa depan
masuk ke dalamnya dengan leluasa.
- Deepak Chopra -
Hidup manusia di dunia tidak lepas dari dua hal berikut: peluang dan resiko. Nasib setiap orang lebih banyak ditentukan oleh bagimana keduanya ditangkap dan dikelola daripada oleh yang lainnya. Peluang dan resiko ibarat dua sisi dari sekeping mata uang. Keduanya lekat tak terpisah. Menangkap peluang berarti sekaligus berani mengambil resikonya. Tidak ada peluang tanpa resiko. Sebaliknya, resiko adalah konsekuensi logis dari pilihan kita untuk menangkap setiap peluang. Memilih untuk menjadi pegawai, resikonya harus siap diperintah atasan. Sebaliknya, memilih untuk menjadi wirausahawan, resikonya penghasilan sering tidak menentu. Memilih untuk melamar anak orang, resikonya harus siap (saling) berbagi dan menanggung hidup masing-masing. Sebaliknya memilih hidup membujang, resikonya tiap hari kesepian di rumah, apalagi kalau malam datang, dan lain-lain.
Orang sering takut mengambil peluang karena takut resikonya. Pun setelah peluang diambil, banyak orang gagal karena tidak bisa mengatasi resiko. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keberhasilan sejatinya adalah resultan dari usaha seseorang dalam menangkap peluang dan mengatasi resikonya. Orang yang ingin berhasil - dalam hal apapun, dengan demikian, harus punya keberanian untuk menangkap peluang dan mengambil resikonya sekaligus. Menangkap peluang berarti menjadi orang-orang pertama (pioner) yang take action atas sesuatu hal. Sementara mengambil resiko diartikan sebagai tidak takut pada resiko serta punya bekal ilmu dan rencana untuk mengatasi resiko tersebut. Keberaniaan terakhir akan kita jadikan ciri kesekian dari orang hebat.
Keberaniaan mengambil resiko dalam pengertian di atas menjadikan orang tidak asal ambil resiko atau asal ambil peluang, tapi benar-benar keberaniaan yang didasarkan pada perhitungan yang memadai, bukan ke-nekad-an. Banyak orang gagal karena hal terakhir. Maunya dibilang berani, tapi sesungguhnya nekad. Banyak orang maunya berwirausaha, tapi malah jadi pengangguran. Banyak orang ingin rumah tangganya bahagia, tapi malah sebaliknya, dst. Apa yang dimaksud dengan perhitungan yang memadai sesungguhnya ada pada aspek perencanaan setiap orang. Sekali lagi, ini menegaskan betapa pentingnya perencanaan dan komitmen pelaksanaannya. Orang hebat punya itu. Punya rencana dan punya komitmen pelaksanaan. Sehingga ketika masanya tiba, peluang tak akan lari kemana, resiko tak harus jadi momok yang menakutkan.
Mereka, orang-orang hebat, selalu berusaha menjadi pioner (assabiqunal awwalun) atas berbagai peluang di hadapan. Tetapi, mereka memilih menjadi pioner yang punya perhitungan yang memadai. Sehingga keberanian mereka bukan ke-nekad-an yang dipaksakan. Mereka tidak takut menghadapi resiko karena mereka punya ilmu, wawasan, dan keterampilan, lalu mereka susun rencana, dan mereka punya komitmen pelaksanaan atasnya.
Dengan begitu, tidak ada istilah takut dalam kamus orang-orang hebat. Memang, adakalanya mereka harus hati-hati memutuskan. Ada masanya mereka harus memperhitungkan waktu, situasi, dan kondisi. Namun, ketika keputusan telah diambil, tak pantang menyerah pada masalah, tak pantang mundur apalagi kabur menghadapi masalah. Mereka selalu punya ruang yang luas untuk mengevaluasi, merencanakan kembali, dan memulai investasi lagi (baca: usaha perbaikan) atas pilihan peluang yang diambil.
Orang hebat melihat dan menjalani proses sebagai pembelajaran. Sehingga, jika kegagalan sekalipun yang datang, difahaminya sebagai jalan panjangnya kesuksesan. Apa yang muncul kemudian adalah pikiran-pikiran positif dan solutif atas permasalahan. Di sanalah letak keberanian orang hebat. Berani mengambil resiko karena punya rencana. Berani mengambil resiko karena punya cara pandang pembelajar. Mereka tak pernah berhenti berproses (on becoming) menjadi lebih baik sebelum akhirya menjadi yang terbaik. Maka benarlah apa yang diungkapkan oleh bait-bait puisi anonim berikut ini:
Resiko
Tertawa adalah mengambil resiko terlihat bodoh.
Menangis adalah mengambil resiko terlihat sentimental.
Menjangkau yang lain adalah mengambil resiko terlibat.
Mengungkapkan perasaan adalah mengambil resiko menunjukkan diri yang
sesungguhnya.
Menunjukkan gagasan dan impian anda di depan orang banyak adalah mengambil resiko
merasa malu.
Mencinta adalah mengambil resiko tidak dicinta.
Hidup adalah mengambil resiko mati.
Berharap adalah mengambil resiko putus asa.
Berusaha adalah mengambil resiko gagal.
Tapi resiko harus dihadapi, karena bahaya terbesar dalam hidup ini adalah tidak mengambil resiko sama sekali.
Orang yang tidak berani mengambil resiko tidak akan melakukan apa-apa, tidak punya apa-apa, dan bukan siapa-siapa.
Mereka mungkin menghindari penderitaan dan kesengsaraan, tapi mereka tidak bisa belajar, merasakan, mengubah, tumbuh, mencintai, atau hidup.
Dalam keadaan terikat oleh kepastian, mereka adalah para budak. Mereka telah mengekang kebebasan mereka sendiri.
Hanya orang yang berani mengambil resiko adalah orang yang bebas
Barang siapa mengerjakan amal sholeh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan ami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan.
- An-Nahl: 97 -
Kita masih akan menggali kriteria orang hebat berdasarkan petunjuk Nabi saw. Setelah, dalam bahasan terdahulu, kita mengupas hadits Nabi yang berbunyi sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat diantara sesamanya. Ada satu lagi hadits mirip dengan itu. Masih tentang 'sebaik-baik manusia.' Bunyi haditsnya sebagai berikut: Sebaik-baik manusia adalah yang paling baik akhlaknya. Khairun nas ahsanuhum khuluqo.
Akhlak. Ia adalah perilaku atau tindakan yang didasarkan pada pemahaman nilai yang telah menjadi sikap mental yang mengakar dalam jiwa. Dari pengertian tersebut, ada tiga komponen pembentuk akhlak. Pertama, pemahaman nilai oleh akal pikiran. Kedua, keyakinan dalam hati. Dan ketiga, amal dalam bentuk perilaku atau perbuatan.
Benar keluarannya adalah perbuatan, tapi dasarnya adalah nilai yang difahami akal-pikiran, diyakini oleh hati, dan tertanam dalam jiwa. Dalam bahasa agama, akhlak adalah perpaduan antara iman dan amal sholeh. Dengan demikian, akhlak merupakan ekspresi paling lengkap dari kualitas kemanusiaan seseorang. Bisa dikatakan, kalau ingin melihat baik-buruknya seseorang lihatlah akhlaknya. Inilah ukuran paling tepat untuk menilai kepribadian seseorang. Bahkan, baik-buruknya, jatuh-bangunnya, maju-terbelakangnya suatu peradaban sering dikaitkan dengan kondisi akhlak masyarakatnya atau dalam banyak kesempatan sering dibahasakan sebagai moralitas masyarakat.
Menimbang betapa pentingnya akhlak, suatu ketika Nabi saw bertanya kepada para sahabat, "Inginkah kalian kuberitahu tentang siapa dari kalian yang paling kucintai dan akan duduk terdekat denganku di majelis di hari kiamat kelak?" Nabi kemudian mengulang pertanyaan itu sebanyak tiga kali. Hingga sahabat terhenyak dan bertanya, "Ya, kami ingin mengetahuinya ya Rasululloh!" Nabi kemudian bersabda, "Orang yang paling baik akhlaknya diantara kalian." Bahkan, masalah akhlak secara khusus disebut Nabi sebagai misi risalah beliau - dalam sabdanya: Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Innama bu’itstu liutammimma makaarimal akhlaq.
Karena menyangkut kualitas kemanusiaan, wilayah akhlak tersebar dalam semua fora kegiatan dan aktivitas manusia, dari wilayah kepribadian, hubungan horizontalnya dengan sesama manusia (hubungan sosial), hubungan vertikalnya dengan sang pencipta, dan dalam berbagai bidang kehidupannya. Wujudnya ada dua: akhlak terpuji dan akhlak tercela. Yang dimaksud sebagai yang terbaik akhlaknya, tentu saja merujuk pada akhlak yang terpuji. Apa saja yang termasuk di dalamnya? Banyak sekali!
Hidup dan kehidupan diciptakan dalam bentuk berpasangan. Setiap perbuatan ada pasangan baik dan buruknya. Apa yang baik mendatangkan manfaat dan maslahat. Manfaat dan maslahat mendatangkan kebahagiaan hidup. Dalam pandangan yang visioner, kebahagiaan (harus) diwujudkan bukan hanya di dunia tapi juga di akhirat kelak. Tentunya jika dilakukan dengan cara-cara yang benar, visi itu akan memenuhi hasilnya. Akhlak terpuji bermuara pada itu.
Anis Matta dalam bukunya Membentuk Karakter Cara Islam menjelaskan kriteria penerimaan akhlak terpuji menurut Islam. Kriteria penerimaan yang dimaksud meliputi niat, proses, dan hasil. Akhlak terpuji atau akhlak shalih adalah perbuat yang dilakukan dengan motif (niat) semata-mata untuk Alloh swt. dan dilakukan dengan cara yang benar sesuai dengan sunnah Rasululloh saw. Dengan demikian, perbuatan itu bukan saja diterima di sisi Alloh swt., tetapi juga sukses dalam ukuran manusia; bukan saja mengantarkan pelakunya memperoleh keselamatan di akhirat, tapi juga kebahagiaan di dunia.
Apa bentuk atau wujud akhlak terpuji? Bagimana menginternalisasikan dalam diri? Akhlak terkait dengan karakter. Strategi pembentukannya tentu saja Inside-out - dari dalam hati (jiwa) mewujud ke dalam perilaku. Sehingga setelah pemahaman dan keyakinan akan nilai, yang dilakukan kemudian adalah pembiasaan-pembiasaan dalam bentuk amal-kerja.
Akhlak dan karakter bukanlah hal yang statis. Keduanya bersifat dinamis, asal kita punya komitmen pembelajar sejati. Nilai terpuji atau nilai positif tersebar dalam banyak ruang kehidupan. Bagi kita umat Islam, kita punya sumber kebaikan abadi al-Quran dan Sunnah Nabi. Tinggal kemauan kita untuk belajar dan memahami, lalu meyakini dan menginternalisasikan dalam hati. Caranya banyak: belajar mandiri, cari murabbi (baca: guru), ikuti majelis ilmu, dll. Salurannya pun banyak ragamnya, dari yang formal di lembaga-lembaga pendidikan sampai yang nonformal di surau-surau, di organisasi, di forum-forum studi, dll. Pilih dan ciptakan saluran pembelajaran yang benar-benar memberdayakan diri - menuntun pada akhlak terpuji.
Lingkungan sosial - pertemanan, pergaulan, permainan, organisasi, kerjasama - juga memiliki porsi besar dalam mempengaruhi akhlak seseorang. Untuk tujuan membentuk akhlak terpuji, bergaulah dengan orang-orang shaleh, orang-orang yang berpikiran dan berperilaku positif, orang-orang progresif, orang-orang hebat, dst. Ciptakan lingkungan yang kondusif bagi diri untuk meraih akhlak terpuji. Bangunlah team (ingat the dream team) yang terdiri dari orang-orang hebat, sholeh, baik, positif, dan progresif. Baru setelah itu, berbaurlah dengan masyarakat. Serukan kebaikan dengan teladan yang mengedepankan akhlak terpuji.
Akhlak terpuji menjelma dalam banyak sekali cara memandang, merasa, bersikap, dan berperilaku sehari-hari. Ia bukan hal baru, tapi secara turun-temurun diwariskan dari dan untuk orang-orang yang ingin hidup mulia dan bahagia. Anis Matta secara jeli menyimpulkan bagi kita induk-induk dan turunan akhlak terpuji sebagai berikut:
* Cinta kebenaran melahirkan turunan dan lawannya sebagai berikut: Jujur ><><><><>
* Kekuatan kehendak menurunkan sifat sebagai berikut: Optimis, Inisiatif, Tegar, Tegas, Serius, Disiplin, Pengendalian Diri.
* Himmah (Ambisi) yang tinggi menurunkan sifat sebagai berikut: Dorongan Berprestasi, Dinamika, Tidak Mudah Menyerah, Harga Diri, Keseriusan.
* Kesabaran melahirkan sifat sebagai berikut: Tenang, Konsisten, Pengendalian Diri, Lembut, Santun, Mampu Menjaga Rahasia.
* Rasa kasih (Rahmah) melahirkan sifat sebagai berikut: Pemaaf, Empati, Berbakti Kepada Orang Tua, Silaturrahmi, Lembut, Penolong, Musyawarah, Santun Kepada Fakir Miskin.
* Naluri sosial melahirkan sifat berikut: Bersih Hati, Ukhuwah, Menutup Aib Sesama, Mempu Bekerjasama, Penolong, Anti Perpecahan, Menjaga Milik Bersama.
* Cinta manusia melahirkan sifat berikut: Besih Jiwa, Kerjasama, Keterlibatan Emosional, Adil, Dermawan, Selalu Berkehendak Baik.
* Kedermawanan melahirkan sifat berikut: Pemurah, Hemat, Harga Diri, Mendahulukan Orang Lain, Infak, Ukhuwah.
* Kemurahan hati melahirkan sifat berikut: Lembut, Luwes, Pemaaf, Ridha, Ceria, Menyenangkan Orang Lain.
Itulah diantara wujud akhlak terpuji. Setelah tahu dan faham, yang dibutuhkan hanyalah komitmen pelaksanaan. Dan orang hebat memenuhi komitmen itu. Ia tahu. Ia faham. Ia yakin. Maka, Ia mengamalkannya. Secara berulang-ulang dan konsisten. Ia pun menghiasi hari dengan akhlak mulia. Dan ia memilih menjadi yang terbaik akhlaknya diantara sesamanya.