Rabu, Desember 12, 2007

TRANSFORMASI EMOSIONAL MENUJU KREATIF

Indonesia terkenal dengan negeri pengamat dan komentator. Dari komentator bola sampai ke komentator politik. Pemerhati lingkungan sampai dengan pemerhati sosial. Fenomena ini mungkin karena budaya tutur lebih melekat daripada budaya menulis dalam kebudayaan bangsa kita. Sehingga bangsa kita ini lebih banyak memperhatikan daripada menganalisa, lebih banyak melihat tinimbang meneliti, lebih banyak mendengar daripada mencari kebenaran .
Bahkan kita lebih banyak hanya merasa kasihan dari pada empati. Perbedaan antara kasihan dan empati ini tentu sangat jauh berbeda. Kasihan hanya melihat dan merasa sedih dengan keadaan. Sedangkan empati, melihat keadaan lalu merasa sedih, memikirkan apakah yang akan terjadi kalau keadaan tersebut terjadi pada dirinya. Tidak cukup sampai disitu saja setelah itu ia tergerak dan bergerak untuk merubah keadaan tersebut.
Sebuah Hadist Rasulullah Saw mengatakan bahwa mencegah kemungkaran dengan kekuatan dan kekuasaan adalah iman yang paling mumpuni. Mencegah kerusakan dengan lisan adalah yang paling tinggi. Sedangkan dengan perasaaan adalah selemah-lemahnya iman. Kita hanya mengambil subtansi hadist tersebut karena bunyi hadist tersebut bukanlah demikian.
Menyatakan kita adalah bangsa yang terlalu terbawa perasaan adalah tidak terlalu naïf. Karena kita sudah membuktikan bangsa ini akan bersatu dan bergerak kalau ada ruang perasaan kita yang terusik. Tsunami di Aceh adalah contohnya dalam waktu yang tidak lama milyaran bahkan triliunan rupiah mengucur deras ke bumi serambi Mekkah yang porak poranda. Ketika lagu rasa sayang sayange dan lagu daerah kita yang lain dicaplok Saudara serumpun Malaysia kita meradang dan ambil posisi siap perang. Masih banyak contoh yang dapat kita tunjukkan sebagai bukti yang mengukuhkan bahwa kita adalah bangsa yang emosional.
Kita harus berubah dari masyarakat yang emosional menjadi masyarakat yang kreatif dan inovatif dan ujungnya adalah produktif. Dr. Ali Al Hamadi seorang pakar psikologi dunia dalam buku edisi terjemahan Indonesia ; 30 cara menjadi kreatif menyatakan proses kreatif merupakan proses sistematis di dalamnya seseorang akan membatasi tujuannya secara jelas. Kemudian dia menghimpun seluruh kekuatan akal, jiwa dan kata-kata untuk merealisasikan tujuan itu melalui pemikiran dan penemuan kreatif.
Tujuan adalah hasil akhir yang akan dicapai. Sasaran adalah langkah-langkah tahapan dan target dalam setiap tahapan untuk mencapai tujuan akhir tersebut. Sehingga tergambar dengan jelas posisi kita saat sekarang ini seperti apa. Daya dukung kita untuk memcapai tujuan akhir sudah sampai dimana, kekurangan kita di bidang apa, peluang kita bagaimana inilah yang saya sebut dengan membuka jalan kreatif. Apabila jalan sudah jelas maka kita akan nyaman untuk meneruskan langkah.
Proses kreatif ini memerlukan ilmu dan pengetahuan. Mengapa kita katakan ilmu dan pengetahuan ? karena ilmu adalah apa yang harus kita pelajari untuk hidup sedangkan pengetahuan adalah ilmu yang diperlukan untuk memperbaiki taraf kehidupan. Jadi ilmu itu adalah kebutuhan pokok kita sedangkan pengetahuan adalah pokok kehidupan kita.
Orang yang kreatif adalah orang yang sukses. Orang yang sukses adalah orang yang mengetahui apa yang bisa menyampaikannya pada tujuannya. Setelah itu menempuh segala kemungkinan untuk bisa mencapainya dengan cara-cara kreatif pula. Kekurangan yang mendasar kedua dari bangsa kita adalah narsisme. Ego, keakuan, merasa diri sendiri benar dan kurang respek dengan lingkungan dan orang lain. Cendrung berpikir bagaimana kenyang, menang dan senang. Lamak di waang surang kata orang kita minang.
Akibatnya kita selalu melakukan hal yang sama untuk menyelesaikan persoalan yang sama dalam waktu yang berlainan. Hal ini sudah dikritik oleh sun tzu dengan mengatakan dalam war of artnya ;” aku tidak akan menggunakan strategi yang sama dalam medan dan lawan yang sama”.
Kita adalah sosok yang yang selalu melihat sesuatu dengan dengan kaca mata kita. Itupun masih bagus daripada dengan kaca mata kuda. Bijaksana sekali sabda Rasulullah dalam mendidik anak dengan memperlakukan mereka sesuai dengan umur jasmani dan umur sosiologis dan psikiologisnya. Saat usia balita jadikan ia sebagai teman sepermainan anda, ketika remaja jadikan ia sahabat anda, di saat dewasa jadikan ia teman anda.
Luar biasa, ini merupakan konsep pendidikan yang mengajarkan semua pihak untuk dapat memandang dengan berbagai sudut pandang. Masa balita adalah masa anak-anak yang ada dalam pikirannya hanyalah bermain dan tidak ingin memikirkan kesusahan pikiran sama sekali. Dia membutuhkan teman sepermainan yang dapat menemaninya. Orang tua mendapat nilai tambah dengan bias menyederhanakan persoalan apabila ada masalah pada anaknya. Karena biasanya mereka selalu bias menyelesaikan masalah besar dengan cara yang sederhana.
Ini sudah dibuktikan oleh ahli manajemen dunia dengan menanyakan dua pertanyaan sederhana kepada para eksekutif dan anak TK. Tetapi hasilnya sangat jauh berbeda. Anak TK bisa menjawab semuanya dengan baik, sedangkan banyak kaum eksekutif tidak dapat menjawabnya dengan baik.
Pertanyaan pertama, bagaimana caranya memasukkan gajah ke dalam kulkas. Anak TK menjawab buka pintu kulkas dan masukkkan gajahnya. Sedangkan kalangan eksekutif menyatakan dengan rumit. Ada yang menyuruh menyembelih dulu gajahnya dagingnya dipotong-potong masukkan kedalam kulkas. Atau ide yang lain buat kulkas yang ukuranya sebesar kandang gajah dan masukkan gajahnya setelah itu.
Pertanyaan kedua, bagaimana memasukkan zebra ke dalam kulkas tadi. Anak TK menjawab buka pintu kulkas, keluarkan gajahnya kemudian masukkan zebranya dan tutup pintu kulkasnya supaya zebranya tidak lari melihat gajah. Sedangkan jawaban eksekutif beragam tergantung jawaban awalnya.
Kita lihat perbedaaannnya bukan ? kita juga adalah bangsa yang split personality. Melihat yang sederhana dengan kompleks. Dan terlalu menyederhanakan sesuatu yang rumit. Setelah itu hanya yakin dengan pendapat sendiri dan tidak mau untuk memikirkannya sesuai dengan pemikiran orang lain.
Marilah kita mencoba sekali-kali untuk melihat sebuah persoalan dengan memakai kacamata anak kecil, ibu, ayah, pembantu, penjual, pembeli, tetangga, teman, masyarakat, keluarga atau yang lainnya.
Dalam dunia ilmu pengetahuan dalam suatu survey di Indonesia ditemukan fenomena 80% lebih penelitian skripsi, tesis dan disertasi menggunakan metode survey pustaka tanpa terjun ke lapangan sekalipun. Celakanya lagi terutama skripsi malah survey pustaka dengan skripsi lain alias plagiat.
Inilah bangsa kita apa adanya. Kita memang masih bangsa yang sedang tumbuh baru 62 tahun merdeka dari kolonialisme. Sedangkan Amerika membutuhkan waktu 200 tahun untuk bangkit. Cina juga punya siklus 200 tahun jatuh bangun dinasti. Cuma dinasti dalam Islam seperti dinasti terakhir Ustmani yang bias bertahan selama 650 tahun. Sedangakn dinasti lain tumbuh dan bertahan rata-dalam waktu 120-150 tahun.
Sebagai hiburan maka kita menyatakan ini wajar karena masih muda. Tapi kalau kita berpegang pada terori siklus perabadaban Ibnu Khaldun yang dipakai sampai sekarang oleh universitas apapun di atas dunia ini kita melihat Indosesia sudah sampai pada fase kedua peradaban.
Menurut Ibnu Khaldun dalam Mukaddimahnya siklus peradaban itu dimulai dari tumbuh, berkembang, eksistensi dan runtuh dan akan digantikan oleh peradaban lain. Beliau menyebutkan lama fasenya bervariasi antara 40-100tahun. Kenyataan dilapangan kalau kita meneliti keadaan sejarah sebuah bangsa atau peradaban memerlukan waktu tumbuh kurang dari 40 tahun, sedangkan waktu berkembang, eksistensi dan runtuhnya bervariasi.
Kalau kita ambil masa tumbuhnya 40 tahun berarti kita sudah 22 tahun dalam masa berkembang. Wajar keadaan kita masih jauh dari harapan yang ingin kita capai. Karena masa stabil adalah fase eksistensi. Kita masih memerlukan lebih kurang waktu 18 tahun lagi untuk menggapainya kalau kita beranggapan bahwa fase minimal adalah 40 tahun. Karenanya sudah sangat tepat kalau kita punya visi 2020. walaupun lebih sangat tepat lagi kalau kita membuat visi 2018.

Tidak ada komentar: